"Maklumat Kapolri tersebut merujuk pada SKB Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BNPT. Jadi dasar aturannya ada dan sah," kata Juru Bicara Kompolnas Poengky Indarti ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (3/1/2021).
Berdasarkan SKB tersebut, FPI dianggap telah bubar secara de jure sejak 21 Juni 2019 karena belum memenuhi persyaratan untuk memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai organisasi kemasyarakatan.
Maka dari itu, Poengky menilai FPI seharusnya tidak bisa melakukan kegiatan.
Akan tetapi, menurutnya, FPI malah melakukan kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum dan menganggu ketertiban umum.
"Oleh karena itu aparat penegak hukum berwenang memproses hukum," tuturnya.
Menurut Kompolnas, maklumat itu dibutuhkan sebagai tindakan preventif.
Maklumat Kapolri tersebut, katanya, memberi pemahaman kepada masyarakat sekaligus perintah ke anggota Polri untuk melakukan penegakan hukum apabila ada pelanggaran hukum.
Poengky menuturkan, poin yang tercantum dalam maklumat tersebut menunjukkan bahwa penindakan dilakukan terhadap pelanggaran hukum.
Maka dari itu, Kompolnas menilai jurnalis serta aktivis HAM tidak perlu khawatir maklumat tersebut akan melanggar kebebasan berekspresi.
"Sepanjang konten yang dikutip dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, artinya bukan berita bohong, provokasi, syiar kebencian, tentu boleh-boleh saja. Yang tidak boleh disebarluaskan adalah konten yang melanggar hukum," ucap dia.
Adapun isi maklumat itu antara lain, masyarakat diminta tidak terlibat secara langsung ataupun tidak langsung untuk mendukung, memfasilitasi kegiatan ataupun penggunaan atribut FPI.
Kemudian, masyarakat diminta segera melapor kepada aparat bila menemukan kegiatan, simbol, maupun atribut FPI, serta tidak melaksanakan pelanggaran hukum.
Ketiga, mengedepankan Satpol PP yang didukung oleh TNI-Polri dalam menertibkan di lokasi yang terpasang spanduk/banner atau atribut pamflet dan hal lain yang terkait dengan FPI.
Terakhir, masyarakat diminta tidak mengakses atau mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui situs maupun media sosial.
Sebelumnya, maklumat kapolri itu menuai kritik dari sejumlah pihak seperti komunitas pers dan aktivis hak asasi manusia karena berpotensi melanggar HAM dan kebebasan pers.
Komunitas pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Forum Pemimpin Redaksi, dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menilai, pasal tersebut mengancam tugas utama jurnalis dan media massa.
Sementara, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, Pasal 2 huruf d dalam Maklumat Kapolri harus segera dikoreksi.
Dalam konteks maklumat itu, Amnesty menilai negara seharusnya menggunakan pendekatan hukum dan bukan pendekatan kekuasaan.
"Keputusan pemerintah itu merefleksikan pendekatan negara kekuasaan (machstaat), bukan negara hukum (rechstaat) yang menjadi ruh dari konstitusi republik Indonesia," ujar Usman saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (2/1/2021).
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/04/07553711/maklumat-kapolri-tentang-konten-fpi-kompolnas-dasar-aturannya-ada-dan-sah