Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan, ancaman tersebut datang dalam bentuk legitimasi negara terhadap bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi setiap harinya di lapangan dan menunjukkan Indonesia tengah berada dalam bayang-bayang otoritarianisme.
"Adanya berbagai fenomena-fenomena di mana sebenarnya negara sendiri tidak memberikan implementasi yang sangat komprehensif atau pun menyeluruh terkait pemenuhan dan perlindungan HAM," kata Fatia dalam acara yang digelar secara virtual bersama media untuk memperingati hari HAM, Kamis (10/12/2020).
Ia melanjutkan, dalam sektor hak sipil dan politik (sipol), kebebasan sipil dinilai semakin menyusut.
Kontras menilai hal tersebut dari banyaknya serangan dan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi baik dalam ruang publik maupun ruang digital dengan proses penegakan hukum yang minim terhadap perlaku.
"Dalam beberapa peristiwa, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi ini justru dilegitimasi oleh negara misalnya melalui Surat Telegram Polri Nomor ST 1100/iv/huk.7.1/2020 yang berisi instruksi patroli siber terhadap pengkritik Pemerintah," ucap Fatia.
Lanjut dia, Kontras juga menemukan fenomena lain dalam konteks kebebasan sipil di antaranya kebebasan beragama dan beribadah.
Menurut dia, pembatasan pada konteks tersebut juga turut dilegitimasi oleh pemerintah melalui kebijakan diskriminatif yang menyudutkan kelompok minoritas.
Adapun Kontras mencatat setidaknya peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia, tertinggi berada di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah 10 peristiwa, dan kedua di Jawa Timur dengan 7 peristiwa sepanjang 2020.
Kemudian, Kontras juga menyoroti pelanggaran HAM di sektor hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob).
Secara khusus, kata dia, Kontras memperhatikan proses legislasi UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) serta UU Cipta Kerja yang secara substansi dinilai memundurkan agenda desentralisasi, merusak lingkungan, dan mengurangi jaminan kesejahteraan pekerja.
"Soal UU Cipta Kerja disahkan diam-diam, dan tidak melibatkan partisipasi publik. Tidak ada konsultasi publik dan juga mengakibatkan adanya banyak kerugian yang akan dialami masyarakat," ucap dia.
Selain itu, ia menilai adanya watak developmentalis pemerintah yang semakin menguat, dengan dalih pemulihan ekonomi pasca dampak pandemi.
"Ini menjadikan pembela HAM khususnya di sektor Sumber Daya Alam menjadi semakin rentan, tanpa adanya perbaikan yang substansial dalam instrumen perlindungan terhadapnya," ucap Fatia.
Kontras juga melihat semakin lamanya penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu dalam satu tahun terakhir.
Bahkan, sebut Fatia, aktor-aktor pelanggaran HAM berat justru dirangkul dan diberi jabatan di lingkungan pemerintah.
"Sementara mekanisme penyelesaian tanpa melalui proses yudisial terus-menerus diajukan. Pemulihan korban pun tidak mendapatkan perhatian yang cukup, dengan tidak adanya upaya merevisi berbagai ketentuan yang selama ini menghambat akses korban terhadap hak pemulihan," ucap dia.
Fatia mengambil contoh pernyataan Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin bahwa tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.
Hal ini pun berlanjut dengan putusan PTUN Jakarta mengabulkan gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II terhadap Burhanuddin.
Majelis hakim menyatakan, pernyataan Jaksa Agung bahwa tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat sebagai perbuatan melawan hukum.
https://nasional.kompas.com/read/2020/12/10/18525451/setahun-terakhir-kontras-nilai-perlindungan-ham-semakin-terancam