Rosita mengatakan, selama pelaksanaan UU Otsus Papua, pemerintah menilai UU tersebut berhasil dalam menyelesaikan persoalan di Papua.
Namun, masyarakat Papua menilai Otsus tersebut gagal.
"Ada GAP prespektif dalam melihat Otsus sendiri karena dalam kacamata pemerintah, Otsus ini berhasil, tapi bagi Papua Otsus itu gagal. GAP perspektif ini kemudian tidak akan ketemu ketika tidak dikomunikasikan dengan baik," kata Rosita dalam diskusi bertajuk "Setelah Otonomi Khusus, Apalagi Jurus Untuk Papua?" secara virtual, Sabtu (5/12/2020).
Rosita mengatakan, pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua harus dievaluasi secara menyeluruh tidak hanya dari segi pembangunan.
Namun, dari aspek politik, Hak Asasi Manusia dan interpretasi sejarah Papua.
"Itu harus dievaluasi. Seperti pengguna simbol daerah, pemerintah mengeluarkan PP 77 yang melarang Bintang Kejora jadi lambang daerah Papua," ujarnya.
Rosita juga mengatakan, dana Otsus yang besar tidak bisa menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam upaya menangani persoalan di Papua.
Menurut dia, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi apakah pembangunan di Papua dirasakan langsung oleh orang asli Papua sesuai yang diamanatkan UU Otsus.
"Apakah pembangunan itu benar- benar menyentuh orang asli Papua? Di dalam Otsus itu jadi target UU otsus itu," ucapnya.
Lebih lanjut, ia meminta, pemerintah memperhatikan indeks pembangunan manusia antara penduduk asli Papua dan non Papua yang masih mengalami ketimpangan.
"Itu GAP-nya cukup besar, ketimpangannya cukup besar, jadi ini harus dilihat dievaluasi secara komprehensif," pungkasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/12/05/11542491/peneliti-lipi-uu-otsus-berhasil-bagi-pemerintah-gagal-menurut-rakyat-papua