Menurut Irfan, vonis tersebut merupakan keputusan hukum yang telah dikeluarkan oleh hakim.
"Kita semua harus menghormati keputusan hukum yang telah dikeluarkan hakim atas vonis tersebut," kata Irfan kepada Kompas.com, Jumat (20/11/2020).
Ketika ditanya mengenai respons sejumlah kalangan yang menyayangkan vonis tersebut, Irfan tak mau memberikan banyak komentar.
Ia juga enggan menanggapi pendapat sejumlah pihak yang menilai bahwa putusan hakim tak dapat diterima karena terjadi kekeliruan penafsiran terkait pasal ujaran kebencian.
"Hukum jangan pakai perasaan," ucap dia.
Adapun kritik atas vonis Jerinx ini datang dari sejumlah pihak seperti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Direktur ICJR Erasmus Napitupulu menyebut, vonis ini berbahaya bagi iklim demokrasi.
"Putusan Hakim ini jelas berbahaya bagi iklim demokrasi di Indonesia," ujar Erasmus dalam keterangan tertulis, Kamis (19/11/2020).
Hal itu berbahaya karena putusan majelis hakim kontradiksi. Sebab, Jerinx divonis bersalah berdasarkan Pasal 28 Ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Hal ini berbeda dengan dakwaan semula, yakni Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.
Adapun Pasal 28 Ayat (2) berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA".
Sementara itu, bunyi Pasal 27 Ayat (3) yakni: "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan /atau dokumen elektronik yang dimiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
Dengan penggunaan pasal itu, kata Erasmus, majelis hakim otomatis menyepakati Jerinx tidak bersalah sesuai dakwaan pertama, yakni Pasal 27 Ayat (3) atas perbuatan menghina IDI.
Untuk itu, Erasmus menyatakan, putusan majelis hakim saling berlawanan.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menilai, putusan bersalah terhadap Jerinx tidak dapat diterima.
Menurut Damar, hakim keliru dalam menafsirkan soal ujaran kebencian.
“Putusan hakim hari ini tidak dapat diterima, karena Jerinx dihukum dengan pasal UU ITE yang selama ini dipakai secara keliru dalam menafsirkan apa itu ujaran kebencian,” kata Damar saat dihubungi Kompas.com, Kamis (19/11/2020).
Dalam UU ITE yang digunakan untuk menjerat Jerinx, kata Damar, tidak terdapat penjelasan spesifik mengenai informasi yang dianggap dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.
Damar berpendapat, tidak menutup kemungkinan pernyataan Jerinx dapat memengaruhi keputusan orang lain dalam menyikapi pandemi Covid-19.
Namun, ia mengatakan, pernyataan itu tidak dapat dikategorikan sebagai informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.
Oleh sebab itu, Damar berharap Jerinx akan mengajukan banding atas vonis 14 bulan penjara yang diputuskan hakim.
Adapun vonis hakim tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, Jerinx dituntut tiga tahun penjara.
Tuntutan itu dilayangkan karena JPU yakin Jerinx terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Kasus ini bermula saat IDI Bali melaporkan Jerinx terkait unggahan di akun media sosial.
Dalam unggahannya, Jerinx menuliskan, "Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan Rumah sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan tes Covid-19."
Jerinx sempat menawarkan mediasi kepada IDI Bali. Namun, tidak ada respons dari IDI hingga kasus disidangkan di meja hijau dan Jerinx ditetapkan sebagai terdakwa.
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/20/19182971/soal-vonis-jerinx-ksp-kita-harus-hormati-keputusan-hakim