Hal itu disampaikan Mahfud menanggapi pernyataan pakar hukum UGM Maria Sumardjono yang menyebut Mahfud mengategorikan UU Cipta Kerja sebagai UU yang elitis dan ortodoks dalam disertasinya.
"Saya senang sesudah 27 tahun saya lulus dari situ, dan teori saya itu masih bisa dipakai untuk melihat perubahan hukum dan karakter politik hukum di Indonesia dan oleh pembimbing saya sendiri waktu itu," kata Mahfud dalam webinar "Telaah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja" yang disiarkan melalui akun Youtube Universita Gadjah Mada, Selasa (17/11/2020).
Jadi saya bangga bahwa ini di Gadjah Mada dijadikan optik untuk memotret Undang-Undang Cipta Kerja," ucap Mahfud.
Ia bercerita, dalam disertasi itu dia menyebut tiga syarat untuk menyatakan sebuah hukum ortodoks.
Pertama, hukum dibuat secara sentralistik dalam artian disusun sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan orang lain.
Menurut Mahfud, hal ini lazim dilakukan pada masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah menyusun UU dan DPR hanya bertugas untuk mengesahkan.
"Pokoknya pemerintah buat, DPR mengesahkan. Kalau DPR tidak mengesahkan, pemerintah kok tidak setuju, dibatalkan secara sepihak lagi," ujar Mahfud.
Syarat kedua, pembuatannya bersifat positivitis instrumentalis atau menjadi alat pembenar kehendak penguasa.
Ketiga, hukum yang dibuat bersifat multitafsir dan mudah ditafsirkan dengan perundang-undangan lain.
Mahfud mengatakan, dalam disertasinya itu pun ia menuliskan dua rekomendasi. Pertama, agar hukum baik maka konfigurasi poltik harus berubah dari otoriter menjadi demokratis.
Sebab, menurut Mahfud, produk hukum merupakan hasil dari konfigurasi politik.
Apabila politiknya demokratis, kata Mahfud, hukumnya akan responsif. Sementara itu, apabila politiknya otoriter, produk hukumnya akan elitis.
Menurut Mahfud, hal itu terbukti dengan perubahan konfigurasi politik dari Orde Baru yang otoriter menjadi demokratis di era Reformasi pasca-1998.
"Semua hukum lahir pada waktu itu sangat-sangat responsif di awal reformasi, coba tahun 1998 tahun 2004, hukum bagus semua, korupsi dibuat hukumnya, lembaganya, penindakan, dan sebagainya, karena waktu itu berubah dari otoriter menjadi demokratis," kata Mahfud.
"Nah, ketika ini dipakai sekarang, apakah konfigurasi politik tidak demokratis? Nah silakan diukur," kata Mahfud lagi.
Rekomendasi kedua dalam disertasi Mahfud adalah membentuk Mahkamah Konstitusi yang pada akhirnya terwujud pada 2003, 10 tahun setelah disertasi Mahfud ditulis.
"Hukum awal-awal berdirinya Mahkamah Konstitusi baik mengikuti perubahan-perubahan konfigurasi politik. Nah, lama-lama konfigurasi politiknya menjadi oligarkis, semuanya menjadi ikut terpengaruh kurang baik," kata Mahfud.
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Agraria UGM Maria Sumardjono menyebut Undang-Undag Cipta Kerja sebagai undang-undang yang ortodok, elitis, dan otoriter.
Sebab, UU Cipta Kerja dijadikan instrumen untuk melaksanakan kehendak penguasa.
"Ini bukan hukum yang mengayomi tetapi hukum yang memaksa. Kalau ditanyakan apakah hukum yang memaksa itu hukum atau bukan? Oh bukan, itu adalah kekuasaan, tetapi bukan hukum," kata Maria dalam pemaparan Anotasi Hukum UU Cipta Kerja, dikutip melalui video Kanal Pengetahuan UGM yang diunggah Senin (9/11/2020).
Maria mengakui, anggapan bahwa UU Cipta Kerja sebagai undang-undang yang elitis itu meminjam istilah dari disertasi Mahfud MD.
Maria yang pernah menjadi pembimbing disertasi Mahfud itu bercerita, peraturan perundang-undangan dengan karakter seperti UU Cipta Kerja merupakan hukum yang otoriter.
"Ini saya cuma pinjam (istilah) Pak Mahfud, otoriter, bukan kata-kata saya ini, kata-kata bapak menteri yang dulu kebetulan saya menjadi pembimbing disertasinya, saya masih hapal ini," kata Maria.
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/17/11571791/mahfud-bangga-disertasinya-digunakan-untuk-meninjau-uu-cipta-kerja