Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, selama 5 tahun terakhir, angka kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang dilaporkan ke pihaknya fluktuatif.
Praktik ini terjadi di semua jenjang pendidikan.
"Pengaduan langsung ke Komnas Perempuan dalam rentang tahun 2015 sampai dengan Agustus 2020 menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan bukanlah ruang bebas dari kekerasan," kata Siti melalui keterangan tertulis yang dilansir dari laman resmi Komnas Perempuan pada Jumat (30/10/2020).
Pada tahun 2015, ada 3 kasus kekerasan yang diadukan ke Komnas Perempuan. Kemudian, 10 kasus pada 2016, 3 kasus pada 2017, 10 kasus pada 2018, 15 kasus pada 2019, dan 10 kasus hingga Agustus 2020.
Dari total 51 kasus, pengaduan terbanyak berasal dari lingkungan universitas yakni 27 persen. Diikuti dengan pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam sebanyak 19 persen.
Kemudian, 15 persen terjadi di tingkat SMU/SMK. Lalu, 7 persen terjadi di tingkat SMP dan 3 persen di TK, SD, SLB.
"Kasus yang diadukan merupakan puncak gunung es karena umumnya kasus-kasus kekerasan di lingkungan pendidikan cenderung tidak diadukan/dilaporkan antara lain karena merasa malu dan tidak tersedianya mekanisme pengaduan, penanganan dan pemulihan korban," ujar Siti.
Siti menyebut, 88 persen atau 45 kasus yang diadukan merupakan kekerasan seksual yang terdiri dari perkosaan, pencabulan dan pelecehan.
Kemudian, 10 persen atau 5 kasus merupakan kekerasan fisik, kekerasan psikis dan diskriminasi.
Kekerasan seksual di universitas berkaitan dengan relasi kuasa mahasiswi dengan dosen pembimbing skripsi atau penelitian.
Di tingkat SMU/SMK, bentuk kekerasan berupa tindakan sekolah mengeluarkan siswi korban perkosaan.
Sementara, di pesantren, kekerasan berupa manipulasi santriwati sehingga terjadi perkawinan antara korban dengan pelaku atau pemaksaan perkawinan.
Ada yang dimanipulasi dengan alasan memindahkan ilmu, ancaman akan terkena azab, tidak akan lulus, hingga hafalan ilmu akan hilang.
Pelaku kekerasan terbanyak adalah guru/ustaz sebanyak 22 kasus (43 persen), kemudian kepala sekolah 8 kasus (15 persen), dosen 10 kasus (19 persen), peserta didik lain 6 kasus (11 persen), pelatih 2 kasus (4 persen), dan pihak lain 3 kasus (5 persen.
"Para korban yang umumnya peserta didik berada dalam kondisi tidak berdaya (powerless) karena relasi kuasa korban dengan guru/ustaz, dosen, atau kepala sekolah yang dipandang memiliki kuasa otoritas keilmuan dan juga termasuk tokoh masyarakat," kata Siti.
Siti mengatakan, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan masih terjadi karena hingga saat ini pencegahan, penanganan dan pemulihan korban masih terkendala impunitas terhadap pelaku.
Kerap kali, lingkungan pendidikan memberikan perlindungan terhadap pelaku kekerasan demi menjaga nama baik institusi.
Sementara, jika korban menempuh penyelesaian pidana, terjadi penundaan berlarut.
Komnas Perempuan pun mendorong agar kebijakan internal di seluruh jenjang pendidikan dipastikan aman dan bebas dari kekerasan dengan membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual.
Kebijakan juga harus berpihak pada korban.
Perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan semestinya tetap diperbolehkan untuk menyelesaikan pendidikan sebagai upaya mencegah anak perempuan putus sekolah.
Kemudian, penyelenggara pendidikan juga diminta memberikan respon cepat terkait penanganan kekerasan seksual yang dialami siswi atau santriwati, demi membangun kepercayaan hukum dalam pemenuhan hak atas keadilan untuk korban.
"Menghukum pelaku setimpal dengan perbuatannya untuk mencegah keberulangan serta mengintegrasikan indikator bebas dari kekerasan dalam menetapkan akreditasi lembaga pendidikan," kata Siti.
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/30/10043991/puluhan-kekerasan-seksual-di-lembaga-pendidikan-dilaporkan-ke-komnas