Salin Artikel

Marak Kasus Kekerasan di Papua, Ini Saran Bagi Pemerintah

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI Adriana Elisabeth menilai, hal itu perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kasus kekerasan yang berkepanjangan di Papua.

"Pengadilannya jangan pengadilan militer kalau memang betul-betul bisa dibuktikan pelakunya adalah TNI. Harus melalui pengadilan sipil, harus transparan prosesnya," ujar Adriana kepada Kompas.com, Kamis (22/10/2020).

Selain itu, proses penanganan kasus-kasus tersebut harus dipublikasikan dan diserahkan kepada pihak korban yang telah menunggu.

Di samping pengusutan kasus, pemerintah dinilai juga perlu melakukan langkah-langkah pemulihan korban.

Menurutnya, banyak aspek kehidupan masyarakat yang terdampak akibat terjadinya konflik. Misalnya, terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan maupun pendidikan.

Kelanjutan kehidupan sehari-hari masyarakat yang terdampak juga dipertanyakan, seperti mereka yang mengungsi. Ada pula masyarakat yang mengalami trauma.

Adriana menilai, pemerintah masih melupakan penanganan terhadap masyarakat yang terdampak.

"Mungkin pendekatannya memang terlalu parsial ya selama ini. Jadi kalau konflik bersenjata, kirim pasukan. Kalau masalah infrastruktur, kirim ini. Tapi yang korban dari konflik itu sendiri enggak pernah ada yang tolong," tutur dia.

Menurutnya, kasus kekerasan di Papua yang marak terjadi belakangan ini memiliki sejarah panjang.

Ia menilai, sumber-sumber kekerasan hingga konflik terus terjadi juga perlu ditelusuri dan ditangani oleh pemerintah.

Adriana mengungkapkan, penanganan terhadap masalah non-ekonomi di Papua sebenarnya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua.

Akan tetapi, ia menilai hal tersebut tidak digunakan untuk mengatasi masalah yang menjadi sumber maraknya kasus kekerasan.

"Itu ada dalam UU Otsus mengenai pengadilan HAM dan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Itu sebenarnya bagian untuk mengatasi persoalan non-ekonomi," ucap dia.

Terakhir, pemerintah diminta membuka ruang dialog untuk membahas penyelesaian isu HAM.

Dialog tersebut dapat dilakukan secara informal atau dalam format simposium atau konferensi.

Akan tetapi, Adriana menekankan agar penyelenggaraannya melibatkan semua pihak.

"Dialog itu harus melibatkan semua elemen, termasuk yang mau merdeka, itu penting, tapi bukan minta merdeka. Kalau minta merdeka, pemerintah coret," kata Adriana.

Ia berpandangan, persoalan kekerasan di wilayah Papua tidak akan selesai apabila tak ada upaya penyelesaian yang berkelanjutan.

Adapun kasus yang belum lama ini terjadi dan menjadi perhatian publik adalah penembakan Pendeta Yeremia Zanambani di Kampung Hitadipa, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Pemerintah kemudian membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut kasus tersebut.

TGPF juga menyelidiki kasus warga sipil bernama Badawi, prajurit TNI Serka Sahlan, dan Pratu Dwi Akbar. Seluruh kasus terjadi di Intan Jaya pada pertengahan September 2020.

Salah satu temuan TGPF dalam kasus penembakan Pendeta Yeremia adalah dugaan adanya keterlibatan aparat dalam peristiwa tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pun meminta Polri dan Kejaksaan mengusut kasus tersebut tanpa pandang bulu.

https://nasional.kompas.com/read/2020/10/22/15541011/marak-kasus-kekerasan-di-papua-ini-saran-bagi-pemerintah

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke