Hal ini mengingat putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan menantu Presiden, Bobby Nasution menjadi peserta pilkada tahun ini.
Gibran maju di Pilkada Solo, sementara Bobby di Pilkada Medan.
"Presiden, DPR dan KPU tentu punya alasan (soal Pilkada tetap dilanjutkan). Tapi sulit bagi presiden menghindari perspektif publik," kata Feri saat dikonfirmasi Kompas.com, Jumat (25/9/2020).
"Publik yang melihat majunya anak dan menantunya sebagai alasan dipaksakannya penyelenggaraan pilkada," lanjut Feri.
Karenanya, kata dia, berdasarkan UU 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara bersih dan bebas KKN diatur agar penyelenggara negara menghindarkan diri dari kebijakan yang menguntungan keluarga atau kerabatnya.
Apa yang terjadi dalam Pilkada, kata dia, sangat kentara kepentingan politiknya
"Iya tak bisa dihindari dari dugaan sarat kepentingan," kata Feri.
"Apalagi harus dilihat partai-partai sudah membangun konsolidasi politik. Bagi partai konsolidasi itu harus tetap dijaga sehingga kalau pilkada ditunda, hal lain yang tidak sesuai kehendak partai bisa terjadi," ungkapya melanjutkan.
Sementara itu, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan sikap pemerintan dan prestasi.
Pertama, faktor ekonomi politik. "Sebab, pemerintahn sudah mengucurkan alokasi tambahan anggaran untuk pelaksanaan pilkada di masa pandemi yang jumlahnya hampir mencapai Rp 5 triun," kata Arya saat dikonfirmasi secara terpisah.
"Dana tersebut tentu sudah terpakai sebagian. Sehingga bila ditunda, dugaan saya pemerintah khawatir akan terjadi penambahan biaya," lanjut Arya.
Penyebab kedua, faktor biaya politik kandidat.
Dengan menunda, kata Arya, pemerintah berfikir akan meningkatkan dana yang akan dikeluarkan kandidat dalam sosialisasi.
Melihat posisi pemerintah tersebut, menurutnya kecil kemungkinan akan ditunda.
"Sehingga, pengambil kebijakan harus menggaransi publik bahwa pilkada tidak menjadi cluster baru Covid-19, " tegas Arya.
"Dengan meningkatkan kepatuhan pada protokol kesehatan dan penerapan sanksi yang ketat, seperti misalnya menerapkan kebijakan diskualifikasi dalam Perppu baru," tambahnya.
Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan pelaksanaan Pilkada 2020 tetap dilanjutkan.
Keputusan rapat antara Komisi II DPR dan pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri telah sepakat Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember.
Salah satu alasannya, pandemi Covid-19 di Tanah Air dinilai masih terkendali.
Namun, Komisi II meminta agar penerapan protokol Covid-19 dilaksanakan secara konsekuen dan pelanggarnya harus mendapatkan sanksi tegas.
Keputusan pemerintah dan komisi II DPR ini bertentangan dengan masukan dari sejumlah organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah yang meminta pilkada ditunda demi keselamatan masyarakat.
Sementara itu, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengakui penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia yang masih cukup tinggi salah satunya disebabkan karena Pilkada Serentak 2020.
"Kami masih melihat penambahan kasus positif yang cukup tinggi dan ini juga terkait dengan Pilkada," ujar Wiku dalam konferensi pers dari Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (24/9/2020).
Dia pun mengaku prihatin dengan adanya calon kepala daerah yang menggelar acara yang menimbulkan kerumunan massa di masa pandemi.
Pasalnya, kerumunan dapat memicu penularan virus dan membuat pasien Covid-19 semakin bertambah.
"Apapun alasannya sudah sepatutnya bahwa wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat betul-betul dapat melindungi rakyatnya, keselamatan rakyatnya. Sehingga semua pesta demokrasi bisa dijalankan dengan baik," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/25/13553911/pengamat-pilkada-lanjut-sulit-bagi-presiden-hindari-persepsi-publik-soal