JAKARTA, KOMPAS.com - Setahun setelah Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) disahkan, Komisi Antirasuah itu dinilai semakin kehilangan independensinya.
Anggapan itu disampaikan mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, dalam diskusi bertajuk 'Merefleksi Satu Tahun Revisi UU KPK, Mati Surinya Pemberantasan Korupsi' yang diselenggarakan Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Senin (21/9/2020).
Menurut dia, saat ini KPK tak jauh berbeda dengan instansi pemerintahan pada umumnya.
"Pegawai KPK jadi aparatur sipil negara (ASN) seperti pegawai negeri karena pasti terjadi benturan kepentingan politik dan bisnis berselingkuh secara terbuka," ucap Busyro seperti dilansir dari Antara.
Ia pun turut menyoroti banyaknya perwira tinggi Polri yang ditempatkan di KPK. Setidaknya, saat ini sudah ada sembilan perwira tinggi Polri yang menempati jabatan di instansi tersebut.
Busyro khawatir, dengan semakin hilangnya independensi tersebut, praktik kerja pemberantasan korupsi yang menyasar aktor utama di balik skandal korupsi besar dapat terganggu.
Beberapa kasus besar itu antara lain Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Meikarta, eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), reklamasi teluk Jakarta, Bank Century, hingga e-KTP.
"Ditambah sikap pasif pimpinan KPK terhadap skandal korupsi tertinggi, yaitu dalam kasus Djoko Tjandra karena KPK punya kewenangan mestinya bisa segera diambil alih. Tapi ini yang diragukan karena masuknya birokrasi kleptorasi," imbuh Busyro.
Terkait kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri, ia meragukan Dewan Pengawas KPK akan membuat rekomendasi yang meminta Firli mengundurkan diri karena melakukan pelanggaran etik.
Sementara itu, pengajar hukum administrasi negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar mengatakan, Pasal 32 UU KPK merupakan cek kosong bagi Dewan Pengawas KPK untuk melakukan pengawasan.
"Konteks pengawasan adalah menindaklanjuti saat ada laporan, rekomendasi tidak ada aturan detailnya. Kalau ada rekomendasi mengudurkan diri terus apa? Apa bisa memaksakan mengundurkan diri? Karena tetap hanya jadi rekomendasi," ucap Zainal.
Ia menambahkan, syarat agar seorang komisioner bisa diberhentikan yaitu karena melakukan perbuatan tercela.
"Saya lebih memilih kategorisasi yang mengatakan tindakan pelanggaran etik masuk dalam perbuatan tercela. Kalau Dewas 'clear' menyatakan Firli Bahuri melakukan pelanggaran berat dan bagian perbuatan tercela, maka kualifikasinya terpenuhi dan cukup untuk pemberhentian seorang komisioner KPK," imbuhnya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/22/13254241/sejak-uu-baru-disahkan-kpk-dinilai-kian-kehilangan-independensinya