Hal itu dikatakan Ali melalui telekonferensi dalam diskusi di Graha BNPB, Jakarta, Selasa (18/8/2020).
"Herbal ini tentu kita berharap karena itu kekayaan alam Indonesia bisa mendukung imunitas tubuh. Dan imunitas kalau bagus, nah ini kita berharap terutama untuk yang OTG atau gejala yang sedang, ringan bisa terselesaikan. Makanya kami dukung," kata Ali.
Namun, Ali mengatakan ada obat herbal yang justru diklaim sebagai obat yang bisa menyembuhkan pasien Covid-19.
Padahal, kata dia, ada jenis obat herbal yang harus mendapatkan uji klinis jika ingin disebut sebagai obat Covid-19.
Obat herbal, menurut Ali, terbagi menjadi tiga jenis yakni jamu, obat herbal terstandar (OHT), dan vitofarmaka atau obat herbal yang sudah terbukti keamanannya lewat uji klinis.
"Jadi ada tiga (jenis obat herbal), (jenis) vitofarmaka itu pasti harus melalui uji klinis," ujar dia.
"Nah ini yang sering mohon maaf belum melakukan uji klinis lalu dia mengklaim bahwa ini bisa khusus untuk imunomodulator untuk covid," ucap Ali.
Sebelumnya diberitakan, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM Maya Gustina Andarini mengingatkan, obat herbal tetap harus melewati berbagai aturan untuk dapat diklaim mengobati sebuah penyakit.
Salah satu tahap yang paling penting harus dilaksanakan adalah uji klinis.
"Suatu obat herbal itu untuk bisa diklaim, dia bisa mengobati suatu penyakit apapun. Dia bisa beredar harus ada harus ada aturannya," kata Maya dalam konferensi pers, Senin (10/8/2020).
"Karena pasien ini kan manusia. Manusia harus kita perhatikan haknya ketika kita melakukan uji klinis pada mereka. Tidak bisa begitu saja menemukan, diklaim, apalagi dikatakan sudah dilakukan ribuan pasien," ujar dia.
BPOM sendiri berkomitmen mengawasi ketat produk obat herbal yang beredar di Indonesia, mulai dari hulu hingga pemasaran. Pengawasan itu dilakukan demi melindungi masyarakat.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/18/17592431/kemenristek-dukung-herbal-jadi-imunomodulator-untuk-pulihkan-pasien-covid-19