Salin Artikel

Pro dan Kontra Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pemerintah melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalam upaya pemberantasan terorisme menuai pro dan kontra.

Seperti diketahui, pemerintah telah merampungkan penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.

Draf itu juga disebut telah diserahkan kepada DPR beberapa waktu lalu untuk dapat dibahas secara bersama-sama. Sejumlah pihak pun berharap agar pembahasan draf ini dapat dilaksanakan secara terbuka.

"Rancangannya sudah jadi, sudah ke DPR. Perdebatan cukup seru," kata Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD seperti dilansir dari Tribunnews.com, pada 29 Juli lalu.

Menurut Mahfud, pihaknya telah berkomunikasi dengan sejumlah pihak, termasuk kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada saat menyusun rancangan peraturan tersebut.

Tak hanya itu, ia menyebut, komunikasi juga dilakukan Kementerian Hukum dan HAM, untuk menyerap seluruh aspirasi dari berbagai pihak.

Kendati demikian, masih ada sejumlah hal yang perlu diperbaiki dan diharmonisasikan.

"Bahwa teror itu bukan urusan hukum semata, tidak semuanya diselesaikan hanya oleh polisi," kata dia.

"Pada umumnya kita ajak diskusi, kita tunjukkan ini pasalnya bahwa pelibatan itu diperintahkan Undang-Undang (Nomor 5 Tahun 2018)," imbuh Mahfud, Sabtu (8/8/2020).

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengaku, belum menerima dan membaca raperpres tersebut. Ia menduga bahwa rancangan beleid itu masih berada di tangah pimpinan DPR.

Meski demikian, Meutya menambahkan, secara umum TNI memiliki wewenang untuk melaksanakan operasi militer selain perang (OMSP) di dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Salah satu wewenang yang diatur di dalam OMSP yaitu pemberantasan terorisme.

"Pada dasarnya pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme tertuang dalam UU TNI Pasal 7 ayat (2) tentang Pelaksanaan Tugas Pokok TNI melalui OMSP," kata Meutya saat dihubungi, Senin (10/8/2020).

Akan tetapi, ia menegaskan bahwa pelibatan TNI dalam penumpasan terorisme harus berdasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara.

Didesak terbuka

Di sisi lain, sejumlah kalangan mendesak agar pembahasan raperpres ini dilaksanakan secara terbuka.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, misalnya, menyebut bahwa sejak wacana itu dimunculkan Kemenko Polhukam, sejumlah elemen masyarakat sipil telah menolaknya.

Penolakan muncul karena rancangan aturan tersebut dinilai berpotensi mengancam kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia.

"Dalam konteks itu, seharusnya pemerintah dan DPR sungguh-sungguh mengakomodasi masukan masyarakat," kata Direktur Imparsial Al Araf dalam keterangan tertulis, pada 2 Agustus lalu.

Ia pun mendesak agar pembahasan raperpres ini dilakukan secara transparan. Sehingga publik dapat berpartisipasi secara aktif untuk mengawasi setiap perkembangan pembahasan dan memberikan masukan yang konstruktif di dalam penyusunan raperpres tersebut.

"Kami mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan perpres tersebut secara terbuka," imbuh dia.

Desakan serupa juga disampaikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Menurut Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, keterbukaan pembahasan raperpres tersebut telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Selain itu, keterbukaan tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peratruan Perundang-Undangan.

"Meminta agar pembahasan terhadap rancangan perpres dilakukan secara terbuka dan transparan sebagai bagian dari proses pembentukan hukum yang menghormati hak partisipasi publik," ujar Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam dalam keterangan tertulis, Senin (10/8/2020).

Terbatas

Choirul menambahkan, peran TNI di dalam penanggulangan terorisme seharusnya hanya bersifat bantuan.

Pasalnya, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pemberantasan terorisme perlu mengedepankan pendekatan penegakan hukum.

Oleh karena itu, ia berharap, penyusunan raperpres didasarkan pada kerangka sistem peradilan pidana atau criminal justice system, bukan model perang atau war model.

"Sehingga seharusnya bersifat ad hoc, didasarkan pada politik negara, dan anggaran dari APBN," katanya.

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni berpandangan, selama ini Polri sudah cukup baik dalam menjalankan tugasnya untuk menanggulangi persoalan terorisme.

Akan tetapi, bila nantinya TNI dilibatkan untuk mengatasi terorisme, sebaiknya hanya terbatas pada kasus-kasus tertentu saja.

"Polisi sampai sekarang sudah bekerja sangat baik dan saya rasa sudah mumpuni. Namun, apabil pada kasus-kasus tertentu tenaga TNI dibutuhkan, ya oke-oke saja," kata Sahroni, Senin (10/8/2020).

Hal senada disampaikan oleh Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri dan Ketua Setara Institute, Hendardi. Pelibatan TNI dalam pemberantasan teroris seharusnya dibatasi, sepanjang aparat penegak hukum masih mampu menangani persoalan tersebut.

"Imparsial menilai pelibatan militer dalam penangananan aksi terorisme merupakan pilihan terakhir, yakni dilakukan pada saat kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi terorisme," kata Ghufron.

Adapun Hendardi menuturkan, TNI dapat dilibatkan dalam penanggulangan terorisme apabila terjadi ekskalasi ancaman yang masuk dalam lingkup ancaman militer. Pengerahan TNI pun harus dijalankan dengan perintah otoritas politik.

"Karenanya, diperlukan definisi yang jelas tentang aksi terorisme yang menjadi tupoksi TNI dan tindak pidana terorisme yang menjadi ranah aparat penegak hukum, agar tidak terjadi potensi tumpang tindih peran," kata Hendardi dalam keterangan tertulis, pada 3 Agustus lalu.

Pro dan kontra

Lebih jauh, Hendardi mengatakan, raperpres yang telah diajukan ke DPR itu berpotensi merusak desain reformasi di sektor keamanan yang sudah ada.

Setelah reformasi bergulir pada 1998, sudah ada pemisahan tugas dan wewenang antara TNI dan Polri, yaitu TNI sebagai alat pertahanan dan Polri sebagai instrumen menjaga keamanan, menciptakan ketertiban dan penegakan hukum.

Ia khawatir, bila nantinya raperpres itu disahkan menjadi perpres akan mengakibatkan kemunduran di sektor ini. Sebab, dengan rancangan tersebut TNI dapat dengan leluasa menangkal, menindak, dan memulihkan tindak pidana terorisme.

Termasuk dalam hal ini mengakses APBD terkait terorisme, serta bebas dari tuntutan unfair trial dan praperadilan ketika terjadi kekeliruan dalam penindakan kasus terorisme.

"Alih-alih menuntaskan reformasi sektor keamanan, kepemimpinan Jokowi justru terus-menerus memanjakan TNI dengan berbagai privilese pelibatan dalam berbagai kehidupan sipil tanpa batas-batas yang jelas," kata Hendardi.

Oleh sebab itu, ketegasan dalam pembatasan wewenang TNI dalam penanganan teroris harus diatur secara jelas di dalam raperpres.

"Pertama, tugas TNI dalam menjalankan tugas operasi militer selain perang untuk mengatasi aksi terorisme, fungsinya hanya penindakan," kata Al Araf.

Menurut dia, pembatasan itu hanya untuk, misalnya, menangani pembajakan pesawat, kapal atau aksi terorisme di kantor perwakilan negara sahabat.

Selain itu, ia menambahkan, TNI tidak perlu dilibatkan dalam penanganan terorisme pada obyek vital strategis. Misalnya, dalam hal ancaman terorisme terhadap presiden yang sifatnya harus aktual.

Selain itu, ekskalasi tinggi harus dimaknai terjadi pada saat darurat militer, bukan pada kondisi tertib sipil.

Ia menambahkan, TNI juga tidak perlu memiliki fungsi penangkalan dan pemulihan dalam penanganan aksi terorisme.

"Pemberian fungsi penangkalan dan pemulihan sebagaiman diatur dalam draf lama rancangan Perpres terlalu berlebihan dan mengancam negara hukum dan HAM," katanya.

Di samping itu, ada lima catatan lain yang juga diberikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Pertama, penggunaan dan pengerahan TNI harus atas dasar keputusan politik negara, yaitu keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR.

Hal itu sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 5 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Kedua, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri merupakan pilihan terakhir, yaitu dilakukan jika kapasitas aparat penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi tersebtu.

Ketiga, pelibatan TNI hanya bersifat sementara dan dalam jangka waktu tertentu. Hal itu disebabkan tugas utama TNI adalah untuk menghadapi perang.

Keempat, pelibatan TNI harus tunduk pada norma hukum dan HAM yang berlaku. Dalam hal ini, TNI yang terlibat pemberantasan teroris harus tunduk pada KUHAP, KUHP, dan UU HAM.

Terakhir, alokasi anggaran untuk TNI dalam mengatasi aksi terorisme hanya melalu APBN. Mengingat, fungsi TNI yang bersifat terpusat.

Sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI.

"Pendanaan diluar APBN untuk TNI (APBD dan anggaran lainnya) memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing-masing," jelas Araf.

https://nasional.kompas.com/read/2020/08/11/09512211/pro-dan-kontra-pelibatan-tni-dalam-pemberantasan-terorisme

Terkini Lainnya

PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

Nasional
Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Nasional
Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Nasional
Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Nasional
Berebut Lahan Parkir, Pria di Pondok Aren Gigit Jari Rekannya hingga Putus

Berebut Lahan Parkir, Pria di Pondok Aren Gigit Jari Rekannya hingga Putus

Nasional
Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Nasional
Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat 'Smart Card' Haji dari Pemerintah Saudi

Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat "Smart Card" Haji dari Pemerintah Saudi

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Nasional
Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Nasional
Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Nasional
Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri 'Triumvirat' dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri "Triumvirat" dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Nasional
Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Nasional
Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal 'Food Estate'

Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal "Food Estate"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke