JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Kejaksaan hingga kini belum memperoleh lampu hijau dari Kejaksaan Agung untuk mengetahui laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang dilakukan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) terhadap Pinangki Sirna Malasari.
Pinangki merupakan oknum jaksa yang sebelumnya diduga bertemu dengan Djoko S Tjandra alias Joko S Tjandra saat masih berstatus buron, di Malaysia.
Sikap kurang terbuka yang ditunjukkan Kejagung pun disorot.
Pasalnya, hal itu berpotensi memunculkan kecurigaan publik serta kredibilitas lembaga tersebut dalam menangani persoalan oknum jaksa yang diduga terlibat persekongkolan jahat dipertanyakan.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak menuturkan, permintaan LHP itu sudah diajukan pihaknya ke Kejaksaan sejak pekan lalu.
Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda dari Kejagung akan menyerahkan LHP tersebut.
"Sejak kami kirimkan surat minggu lalu sudah dijawab oleh JAM Was via telepon akan segera dikirimkan Kamis tanggal 30 Juli 2020. Hari Senin lalu kami minta lagi namun belum tiba sampai sekarang," kata Barita kepada Kompas.com, Jumat (7/8/2020).
Menurut dia, seharusnya permintaan yang diajukan Komisi Kejaksaan kepada Kejaksaan Agung merupakan hal yang cukup sederhana untuk dipenuhi.
Pasalnya, hal ini berkaitan erat dengan semangat transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum yang perlu dijaga agar publik tetap percaya.
Selain itu, dalam perkara Djoko Tjandra, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin lah yang justru menjadi pihak pertama mengungkap keberadaan buronan tersebut ada di Indonesia.
Sebelum akhirnya keberadaan pria yang dijuluki 'Joker' itu menuai polemik, lantaran diduga mendapat bantuan dari sejumlah oknum mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengacara.
"Komisi (Kejaksaan) tidak harapkan jangan sampai itu (kredibilitas turun) terjadi. Sebab membangun dan mempertahankan public trust itu sangat sulit," ujarnya.
Kredibilitas
Sementara itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai, sikap yang ditunjukan Kejagung berpotensi menimbulkan kecurigaan publik.
Salah satunya, bisa memunculkan dugaan ada oknum lain yang diduga keberadaannya sengaja ditutupi
Menurut dia, seharusnya saat ini menjadi momentum bagi Jaksa Agung membersihkan kejaksaa dari oknum jahan yang terlibat persekongkolan jahat.
"Jika Jaksa Agung diam saja tidak menindak jaksa Pinangki, Presiden Joko Widodo sebagai atasannya harus bertindak tegas. Inilah waktu bagi Presiden Joko Widodo membangun kejaksaan yang bersih," kata Azyumardi seperti dilansir dari Kompas.id.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji pun mengingatkan janji Jaksa Agung yang akan transparan dalam mengusut kasus pelarian Joko Tjandra.
"Jaksa Agung sudah katakan akan bertindak tegas terhadap siapapun jaksa nakal yang terlibat, juga dalam kasus Joko Tjandra. Jadi, Kejagung akan transparan terhadap pengungkapan kasus ini," ujarnya.
"Ini masalah kredibilitas Kejagung sebagai kelembagaan penegak hukum," imbuh Indriyanto.
Tak bisa jemput paksa
Di sisi lain, Komisi Kejaksaan dihadapkan pada sejumlah persoalan di dalam menangani persoalan Pinangki yang sebelumnya dilaporkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Salah satunya, sebut Ambarita yakni mengenai batas waktu pemeriksaan terlapor.
"Karena masyarakat pelapor juga mempunyai hak untuk mendapatkan jawaban atas laporan pengaduannya," ujarnya.
Namun, ia menambahkan, Komisi Kejaksaan juga bekerja sesuai dengan asas kepatutan dan keseimbangan terhadap Jaksa Pinangki.
Dalam hal ini, bila Pinangki memilih untuk tidak menghadiri pemeriksaan yang sebelumnya telah diagendakan, maka hal itu sepenuhnya menjadi haknya.
"Kami tidak punya upaya paksa. Sebab, efektifitas tugas kewenangan Komisi dalam pengawasan Kejaksaan sangat bergantung pada kesadaran dan kepedulian kepatuhan jaksa dan pegawai kejaksaan terhadap integritas, akuntabilitas dan kehormatan penegak hukum," ujarnya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/07/16320241/pengusutan-jaksa-pinangki-antara-hak-dan-upaya-bangun-kepercayaan-publik