Salin Artikel

Pembentukan Hak Angket pada Kasus Djoko Tjandra Dinilai Kurang Tepat

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Habiburokhman Gerindra menilai, usulan pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket terkait kasus pelarian narapidana kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra kurang tepat.

Usulan itu sebelumnya disampaikan oleh peneliti Indonesia Corruption Watch Egi Primayogha, karena menduga adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum yang membantu Djoko Tjandra selama berada di Indonesia.

"Saya pikir kurang tepat kalau kasus Djoko Tjandra ini digiring ke arah hak angket," kata Habiburokhman kepada Kompas.com, Minggu (2/8/2020).

Ia mengatakan, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan UU tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3), hak angket dapat digunakan untuk penyidikan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap bermasalah.

Namun, kata dia, kasus yang melibatkan Djoko Tjandra bukan terkait kebijakan, melainkan soal oknum yang melakukan penyimpangan dan melanggar hukum.

"Saya khawatir narasi hak angket ini bisa membuat persoalan hukumnya menjadi bias dan tidak terpantau," kata dia.

Oleh karena itu, pihaknya pun akan tetap tegas mengawal proses hukum yang sedang berjalan saja.

Menurutnya, siapa pun yang bersalah dalam membantu Djoko Tjandra dalam pelariannya, harus dihukum sesuai Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal tersebut berbunyi, 'barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian dapat diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak Rp 4.500.'

"Ini semua kan sedang berjalan, sudah ada penyidikan, sudah ada tersangka. Hak angket tidak bisa kita gunakan untuk intervensi perkara hukum," kata dia.

Adapun kasus Djoko Tjandra bermula ketika Direktur PT Era Giat Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat, sebagaimana diberitakan Harian Kompas, 24 Februari 2000.

Dalam dakwaan primer, Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar.

Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai oleh R Soenarto memutuskan untuk tidak menerima dakwaan jaksa tersebut.

Kemudian, Oktober 2008 Kejaksaan mengajukan PK ke Mahkamah Agung. MA menerima dan menyatakan Djoko Tjandra bersalah.

Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.

Sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby, Papua Nugini.

Djoko Tjandra kemudian diketahui telah pindah kewarganegaraan ke Papua Nugini pada Juni 2012.

Kendati demikian, alih status warga negara itu tidak sah karena Djoko masih memiliki permasalahan hukum di Indonesia .

Kabar Djoko Tjandra kembali mengemuka setelah dia berupaya melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK) sekitar Juni - Juli 2020 ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Bahkan, Djoko diketahui sempat berada di Indonesia.

Dia sempat membuat KTP elektronik dan paspor sehingga dapat mendaftarkan PK ke pengadilan.

Setelah itu, Djoko kembali meninggalkan Indonesia. Terakhir, dia diketahui berada di Malaysia.

Namun, akhirnya pada Kamis (30/7/2020) Djoko Tjandra berhasil ditangkap Bareskrim Polri di Malaysia.

https://nasional.kompas.com/read/2020/08/02/12320271/pembentukan-hak-angket-pada-kasus-djoko-tjandra-dinilai-kurang-tepat

Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke