JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Puspayoga mengatakan, pihaknya tengah berupaya untuk memperluas dan memperkuat sinergi dalam menghapus praktik perkawinan anak.
Pasalnya, menurut Bintang, United Nations Population Fund (UNFPA) telah memprediksi bahwa akan terjadi sekitar 13 juta perkawinan anak di dunia pada rentang waktu 2020-2030, akibat pandemi Covid-19.
Berdasarkan analisis UNFPA, peningkatan praktik perkawinan anak terjadi karena makin tingginya angka kemiskinan sebagai dampak dari pandemi.
"Prediksi UNFPA mengatakan, akan terjadi sekitar 13 juta perkawinan anak pada rentang waktu 2020-2030 akibat pandemi ini," ujar Bintang dalam diskusi bertajuk Pendidikan Hukum untuk Penanganan Kasus Perkawinan Anak secara daring, Jumat (24/7/2020).
Oleh karena itu, Bintang menuturkan, praktik perkawinan anak harus menjadi perhatian dan kewaspadaan semua pihak agar tidak bertambah.
Salah satu upaya yang telah dilakukan Kementerian PPPA yakni melalui program gerakan bersama pencegahan perkawinan anak yang diinisiasi ulang pada 31 Januari 2020.
Gerakan tersebut melibatkan 17 kementerian/lembaga, pemerintah daerah, provinsi dan kabupaten/kota, terutama bagi 20 provinsi yang angka perkawinan anak di atas angka rata-rata nasional.
Termasuk 65 lembaga masyarakat yang selama ini bermitra, komunitas-komunitas, dunia usaha, dan tokoh agama.
"Sinergi pemerintah dari pusat sampai daerah karena kasus terbesar dalam perkawinan anak terjadi di daerah pedesaan," kata dia.
Selain itu, Bintang berharap pendidikan terkait kesadaran hukum atas hak anak lebih dikembangkan lagi di masyarakat.
Tujuannya, agar masyarakat semakin menyadari bahwa perkawinan anak berdampak buruk dan mengancam pemenuhan hak yang seharusnya didapatkan. Dengan demikian, mata rantai perkawinan anak, terutama di pedesaan, bisa diputus.
"Sebagai upaya menurunkan perkawinan anak, saya berharap insiatif pendidikan kesadaran hukum lebih dikembangkan secara kolaboratif antara Kementerian PPPA dengan berbagai organisasi perempuan seluruh Indonesia," ucap Bintang.
Dampak berkepanjangan
Praktik perkawinan anak akan memberi dampak buruk yang berkepanjangan, mulai dari persoalan yang terkait faktor kesehatan hingga kemiskinan.
Bintang menuturkan, berdasarkan penelitian badan kesehatan dunia, WHO, pada Januari 2020, perempuan di bawah usia 20 tahun secara fisik belum siap mengandung dan melahirkan.
Risikonya, kelahiran bayi dengan berat badan rendah, prematur dan komplikasi kehamilan lainnya. Dampak lainnya adalah kekerasan dalam rumah tangga, hingga pemberian pola asuh tidak tepat pada anak.
Selain itu, WHO juga menyampaikan bahwa perkawinan anak usia kurang dari 18 tahun sering menyebabkan ketidaksiapan mental sehingga banyak risiko yang akan dihadapi.
"Itu membuat anak putus sekolah yang menghilangkan haknya untuk mendapat pendidikan, kesempatan yang lebih luas dalam bekerja, serta mengalami tingkat stres tinggi karena tidak siap punya anak," tutur dia.
Hal tersebut kemudian berdampak pada aspek ekonomi, karena pendidikan rendah berkorelasi dengan pendapatan yang rendah pula.
"Selain itu karena memiliki beban baru untuk menafkahi keluarga, perkawinan anak meningkatkan risiko naiknya pekerja anak," kata dia.
"Berbagai hal ini menimbulkan risiko tinggi kemiskinan, tidak hanya pada generasi tersebut, tapi generasi berikutnya," ucap Bintang.
Target pemerintah
Adapun Pemerintah telah menargetkan penurunan angka perkawinan anak menjadi 8,74 persen pada 2024, melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024. Tercatat persentase angka perkawinan anak di Indonesia pada 2018 sebesar 11,21 persen.
Pada 2017, ada 22 provinsi yang memiliki persentase perkawinan usia anak di atas angka rata-rata Indonesia. Provinsi paling tinggi ditemukan kasus perkawinan usia anak ialah Kalimantan Selatan dengan persentase 23,12 persen.
Menyusul Kalimantan Tengah dengan 20,94 persen dan Sulawesi Barat 19,37 persen.
Sedangkan tiga provinsi terendah secara berturut-turut yaitu Yogyakarta 2,21 persen, DKI Jakarta 3,18 persen, dan Kepulauan Riau 4,00 persen.
Pada 2018, terjadi perubahan angka perkawinan usia anak di tiap-tiap provinsi. Jumlah provinsi dengan persentase perkawinan usia anak di atas angka rata-rata pun menurun menjadi 20 provinsi.
Provinsi paling banyak ditemukan perkawinan usia anak adalah Sulawesi Barat dengan presentase 19,4 persen. Kemudian Kalimantan Tengah dengan 19,1 persen, dan Sulawesi Tenggara dengan angka 19,0 persen.
Sementara itu, tiga provinsi paling sedikit ditemukan kasus perkawinan usia anak yaitu DKI Jakarta dengan presentase 4,1 persen, Kepulauan Riau dengan 4,7 persen dan Sumatra Utara dengan 4,9 persen.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/24/23590021/menghapus-praktik-perkawinan-anak