Salin Artikel

Mereka yang Harus Merelakan Keluarganya Gugur Saat Menghadapi Covid-19

JAKARTA, KOMPAS.com - Tak terpikirkan oleh Satriana Yuza, dirinya harus kehilangan Yuniarto Budi Santosa akibat penyakit Covid-19, yang hingga kini belum ada obatnya.

Menjadi tenaga medis di tengah situasi pandemi seperti saat ini memang merupakan hal yang sulit. Nyawa mereka terancam di tengah misi mulia menyelamatkan nyawa masyarakat.

Budi adalah salah satunya. Ia adalah seorang dokter gigi yang bertugas sebagai anggota Satuan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di Dinas Kesehatan Kota Bogor, Jawa Barat.

"Yang mungkin tidak pernah terpikirkan, akan seperti ini risikonya. Cuma karena tugas dan tanggung jawab, dia harus melaksanakan," cerita Satriana seperti dilansir Kompas.com dari laman resmi Kemenpan RB, Kamis (25/6/2020).

Satriana adalah satu dari tiga orang kerabat tenaga medis yang menerima Santunan Jaminan Kecelakaan Kerja dari pemerintah pusat sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015.

Penyerahan penghargaan diberikan langsung oleh Menpan RB Tjahjo Kumolo di kantornya, Rabu (24/6/2020).

Santunan yang diberikan terdiri atas Tabungan Hari Tua itu mencakup asuransi dwiguna dan asuransi kematian, serta manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) terdiri dari santunan kematian, uang duka wafat, biaya pemakaman, dan beasiswa bagi anak korban.

Total santunan bagi ketiga ahli waris tersebut berjumlah Rp 1.020.937.100.

Bagi Satriana, Budi adalah pahlawan di garis terdepan dalam perang melawan Covid-19.

Pada saat banyak orang diberikan pilihan untuk bisa tetap tinggal di rumah, suaminya justru memilih berjuang di garis terdepan demi menyelamatkan nyawa masyarakat dan orang di sekitarnya, meski nyawa sendiri yang menjadi taruhannya.

"Saya bangga menjadi bagian dari beliau, anak-anak pun bangga," tuturnya.

Gugur usai kelelahan menyiapkan fasilitas medis

Lain Satriana, lain pula cerita Talita Rotua Margaret Silitonga. Ia adalah anak dari dokter Toni Daniel Silitonga, yang gugur pada masa awal pandemi Covid-19 muncul di Indonesia, Maret lalu.

Talita menjelaskan, di masa awal Covid-19 mewabah, ayahnya sempat merasa berat menangani pasien yang terpapar.

"Tapi, karena alamiahnya di sana, jadi ayah lupa untuk beristirahat dan berdedikasi untuk pekerjaannya," ungkap Talita.

Berdasarkan penjelasan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dokter Toni meninggal dunia bukan akibat terpapar Covid-19 secara langsung.

Dilansir dari akun Instagram resmi IDI, dokter Toni menjabat sebagai Kepala Seksi Penanggulangan Penyakit Menular di Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat.

Sebelum hari-hari terakhirnya, dokter Toni yang juga merupakan Satgas Tim Penanggulangan Covid-19 cukup sibuk dalam menyiapkan semua fasilitas kesehatan di wilayah Bandung Barat guna menghadapi ancaman Covid-19.

Di samping itu, dokter Toni juga diketahui berperan aktif dalam memberikan edukasi secara luas kepada masyarakat Bandung Barat untuk mewaspadai penyakit ini.

"Beliau berpulang dikarenakan kelelahan dan adanya serangan jantung," tulis akun tersebut pada 22 Maret lalu.

Gugur setelah 12 tahun mengabdi

Selain dokter Toni, cerita mengharukan juga pernah diungkapkan oleh Syahrul Rahmadi, yang turut menjadi penerima santunan.

Syahrul adalah suami dari Ninuk Dwi Pusponingsih, seorang perawat di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang gugur akibat Covid-19 pada 12 Maret 2020 di usia 37 tahun.

Dari cerita Syahrul-lah terungkap bagaimana keresahan Ninuk setelah divonis positif Covid-19.

"Yah, aku positif Covid-19... Masih bisa hidup enggak aku ya?" tanya Ninuk kepada Syahrul di ruang Instalasi Gawat Darurat RSCM pada 10 Maret lalu, seperti dilansir BBC Indonesia.

Tak kurang dari 12 tahun Ninuk mengabdi sebagai perawat di rumah sakit itu.

Syahrul melihat istrinya terbaring lemah sebagai pasien di RSCM akibat penyakit yang dideritanya sejak awal Maret.

Ia mengalami rasa lelah yang amat sangat, demam hingga 39 derajat celsius, diare, hingga sesak napas.

Di ranjang IGD, tubuh Ninuk tak hentinya berkeringat. Sementara pada saat yang sama, hidungnya terus berair dan pinggangnya terasa nyeri.

Syahrul yang menemani mencoba meringankan penyakitnya sembari menyeka keringat dan menggosok obat gosok di punggungnya.

"Saya bilang, 'Tenang saja. Allah yang memberikan sakit, Allah juga yang menyembuhkan'. Saya hanya bisa menyemangati saat itu," kenang Syahrul.

Menjelang malam, Ninuk semakin kesulitan bernapas hingga ia harus dibantu dengan ventilator.

"Di ruang isolasi (IGD RSCM), kami panggil petugas medis, perawat, susah. Saya pantau saat almarhum dipasangi ventilator," kata Syahrul.

"Saya juga yang nengok-nengok, kadang-kadang (alatnya) eror karena dia gelisah, tercopot alatnya. Saya panggil petugas medis baru dipasang ulang," imbuhnya.

Setelah itu, pihak keluarga dilarang untuk bertemu Ninuk.

Ninuk pun dibawa pihak RSCM ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, yang menjadi rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta.

Dia diisolasi di sana hingga akhirnya tutup usia.

Hingga kini, kasus positif Covid-19 masih terus bertambah. Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, terdapat 49.009 kasus positif Covid-19 di Indonesia hingga 24 Juni 2020.

Kendati peningkatan kasus harian cukup signifikan, penambahan jumlah pasien sembuh juga mengalami hal yang serupa. Kondisi ini berbeda bila dibandingkan pada masa awal-awal penyakit ini masuk ke Tanah Air.

Saat ini tercatat jumlah pasien sembuh sebanyak 19.658 orang, sedangkan pasien meninggal dunia sebanyak 2.535 orang.

https://nasional.kompas.com/read/2020/06/25/14403841/mereka-yang-harus-merelakan-keluarganya-gugur-saat-menghadapi-covid-19

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke