JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko-Polhukam) Mahfud MD mengklarifikasi pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait kasus Tragedi Semanggi I dan II.
Menurut Mahfud, konteks pernyataan Jaksa Agung yang menyebut kedua kasus tersebut bukan pelanggaran HAM berat merujuk pada rekomendasi DPR.
"Jadi, tidak ada pernyataan kasus Semanggi I itu bukan pelanggaran HAM berat. Pernyataannya itu DPR yang pernah menyatakan," ujar Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Kemenko-Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2020).
Meski demikian, kata Mahfud, Kejaksaan Agung memahami kasus ini masih menjadi persoalan yang perlu dituntaskan.
Karena itu, Kejaksaan Agung siap menyelesaikan kasus tersebut.
"Sekarang karena masih menjadi catatan, Kejaksaan Agung siap menyelesaikan itu dan siap secara politis nanti dipertemukan oleh DPR bersama Komnas HAM," tegas Mahfud.
Mahfud mengatakan, polemik tentang pelanggaran HAM berat dalam kasus Semanggi I dan Semanggi II sudah selesai.
Ia berharap tidak ada lagi perdebatan terkait hal itu.
"Itu sudah clear, tidak ada masalah baik di DPR maupun di tingkat Kejaksaan Agung. Enggak ada perdebatan lagi soal itu dengan DPR. Pada sidang berikutnya juga sudah," tambah dia.
Jaksa Agung ST Burhanuddin sebelumnya mengatakan, peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran berat HAM.
Hal ini disampaikan Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III pada pemaparan terkait perkembangan penanganan kasus HAM.
"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Kendati demikian, Burhanuddin tak menyebutkan kapan rapat paripurna DPR yang secara resmi menyatakan peristiwa Semanggi I dan II tak termasuk pelanggaran HAM berat.
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, DPR periode 1999-2004 pernah merekomendasikan Peristiwa Semanggi I dan II tidak termasuk dalam kategori pelanggaran berat HAM.
Rekomendasi itu berbeda dengan hasil penyelidikan Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II yang menyatakan sebaliknya.
Kemudian dalam Rapat Kerja dengan Komisi III pada Kamis (7/11/2019), Burhanuddin mengungkapkan bahwa rekomendasi DPR menjadi salah satu hambatan dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu atau kasus-kasus yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diterbitkan.
Ia mencontohkan peristiwa Semanggi I dan II.
"Bahwa untuk peristiwa 1965, Semanggi I dan Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan kedua peristiwa tersebut bukan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin.
Adapun Tragedi Semanggi I merupakan momen di mana mahasiswa menggelar demonstrasi terkait tuntutan reformasi.
Mahasiswa menggelar aksi penolakan terhadap Sidang Istimewa MPR/DPR mengenai pemerintahan transisi yang dipimpin BJ Habibie sehingga terjadi pertumpahan darah.
Sementara, Peristiwa Semanggi II terjadi pada 24 September 1999.
Saat itu, mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa untuk meminta pembatalan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) yang disahkan DPR dan pemerintah.
Ada beberapa poin dalam RUU PKB yang memunculkan kontroversial, salah satunya, jika disahkan, UU PKB akan menjadi pembenaran bagi TNI untuk melakukan operasi militer.
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/22/18512451/mahfud-md-pernyataan-jaksa-agung-soal-tragedi-semanggi-merujuk-rekomendasi