Hakim tunggal pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Agus Widodo tidak menerima gugatan praperadilan yang diajukan oleh keenam tersangka tersebut.
"Mengadili, satu, menyatakan gugatan praperadilan pemohon tidak dapat diterima," kata Agus dalam sidang putusan di PN Jakarta Selatan, Selasa (10/12/2019).1
Menurut hakim, permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon cacat hukum karena turut melibatkan lembaga kepresidenan sebagai salah satu pihak termohon.
Kemudian, permohonan juga dianggap catat karena mencampuradukkan sah tidaknya tindakan penyidik dengan permintaan agar pihak termohon dinyatakan melanggar hukum yang tidak masuk dalam objek praperadilan.
"Dengan demikian, eksepsi pemohon, jawaban pemohon, bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon harus dan tidak dapat diterima," ujar hakim.
Dengan putusan tersebut, proses penyidikan dan penuntutan terhadap keenam tersangka tersebut di kepolisian dapat dilanjutkan.
Kuasa Hukum Kecewa
Putusan hakim tersebut mengecewakan tim kuasa hukum keenam aktivis Papuq itu.
Salah seorang kuasa hukum Muhammad Fuad menyayangkan bukti-bukti yang mereka ajukan di pengadilan tidak diperhatikan hakim.
"Kami tidak melihat bahwa hakim praperadilan ini melihat fakta-fakta hukum yang dihadirkan ke persidangan. Kita semua tisa dipertimbangkan oleh majelis seperti dalam proses penangkapan ada prosedur-prosedur yang tidak sah," kata Fuad usai sidang putusan.
Fuad menuturkan, hakim lebih banyak mempertimbangkan aspek formal dalam memutus gugatan ini.
Salah satunya dengan mempersoalkan posisi Presiden RI selaku orang yang membawahi Polri sebagai salah satu termohon dalam gugatan tersebut.
"Padahal jelas di Undang-undang Kepolisian, kapolri itu bertanggungjawab kepada presiden. Kemudian terhadap putusan-putusan praperadilan sebelumnya itu juga sudah dilakukan bahwa konsep cq (casu quo) ke presiden itu sudah banyak putusan-putusan praperadilan terkait itu," kata Fuad
Tim kuasa hukum juga menuding bahwa hakim tidak netral selama proses persidangan.
Menurut Fuad, hal itu terlihat ketika tim kuasa hukum tidak diberikan kesempatan berinterupsi selama jalannya sidang.
Sedangkan, kata Fuad, hakim justru bermurah hati memberikan kesempatan bagi termohon untuk melakukan interupsi.
"Baru ketika kita persoalkan pada majelis kenapa ketika termohon keberatan diberikan kesemaptan tapi kenapa pemohon keberatan tidak diberikan kesempatan barulah kemudian kita diberikan kesempatan," kata Fuad.
Okky Wiratama Siagian, kuasa hukum lainnya menambahkan, dugaan bias hakim juga terlihat ketika hakim tidak aktif menggali informasi dari saksi-saksi yang dihadirkan ke pengadilan.
Padahal, menurut Okky, dalam persidangan praperadilan yang mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana hakim mestinya bersikap aktif alih-alih pasif.
"Faktanya ketika persidangan, pernah enggak hakim tanya ke saksi yang kami ajukan? Tidak, tidak pernah. Aktif nggak hakimnya? Tidak. Dari situ sudah mulai kami lihat bahwa hakim bias dalam menangani perkara ini," ujar Okky.
Tim kuasa hukum juga mempersoalkan keputusan hakim yang sempat beberapa kali menunda sidang karena pihak termohon yakni Polda Metro Jaya tidak menghadiri sidang.
Pertimbangkan Mengadu ke MA
Okky menuturkan, tim kuasa hukum mempertimbangkan melaporkan hakim Agus ke Badan Pengawas Mahkamah Agung.
Sebelumnya, mereka juga telah melaporkan hakim Agus ke Komisi Yudisial setelah beberapa kali menunda sidang.
"Kayaknya sekarang KY tidak bisa memberikan sanksi langsung pada hakim, yang bisa berikan sanksi tegas badan pengawas MA. Nanti akan kita pertimbangkan," kata Okky.
Ia menambahkam, tim kuasa hukum juga bersiap mendampingi para tersangka untuk menghadapi sidang pokok perkara yang akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Okelah di sini kita kalah, melalui mekanisme-mekanisme lain masih ada peluang, ada mekanisme internasional ada juga peluang pembuktian di pokok perkara nanti PN Jakpus kita akan manfaatkan berbagai upaya untuk mencari keadilan," kata Okky.
Gugatan praperadilan tersebut diketahui diajukan enam aktivis Papua yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengibaran bendera Bintang Kejora dalam aksi di depan Istana Negara pada 28 Agustus 2019 lalu.
Keenam tersangka tersebut adalah Dano Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Surya Anta Ginting dan Arina Elopere.
Di sisi lain, Polda Metro Jaya menyerahkan enam tersangka kasus pengibaran bendera Bintang Kejora ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat, Senin (18/11/2019).
Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI telah menyatakan berkas perkara keenam tersangka lengkap alias P21. Berkas perkara dinyatakan lengkap pada tanggal 13 November 2019.
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/11/09022121/saat-aktivis-papua-kecewa-praperadilannya-ditolak