Menurut Bahtiar, biaya minimal yang harus dikeluarkan paslon di kisaran Rp 25 miliar hingga Rp 30 miliar.
"Kalau Rp 25 miliar tadi paling sedikit ya. Bahkan minimal Rp 30 miliar sampai ratusan miliar untuk pemilihan bupati. Kalau pemilihan gubernur bisa sampai triliunan," ujar Bahtiar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2019).
Meski demikian, lanjut dia, uang tersebut tidak seluruhnya berasal dari kantong pribadi paslon.
Bahtiar mengungkapkan, adanya pihak sponsor atau pemodal untuk menyokong ongkos politik paslon dalam pilkada.
"Ya mungkin dari kantong dia pribadi tidak terlalu banyak. Paling ya Rp 1 miliar atau RP 500 juta. Akan tetapi kalau pertemuan, kampanye akbar, sosialisasi di media itu sudah menghabiskan berapa besar biaya. Kan tidak mungkin murah. Bahkan bisa ratusan miliar ya," ungkapn dia.
"Ya pasti ada sponsor dari pemodal yang (misalnya) punya bisnis di daerah itu. Nanti kompensasinya (dari kepala daerah terpilih) nanti bisa soal izin bisnis, dan sebagainya," lanjut Bahtiar.
Kondisi seperti ini berpeluang besar menyebabkan tindakan korupsi di kemudian hari untuk mengembalikan modal politik saat kampanye pilkada.
Bahtiar menuturkan, harus ada solusi agar kecenderungan politik uang ini bisa diminimalisasi.
Dia menyarankan, sejumlah testimoni atau pengakuan dari para kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi bisa dijadikan masukan oleh pembuat undang-undang.
"Kita harus cari inovasi apa yang bisa menekan politik uang. Kan misalnya bisa diambil dari para kepala daerah yang di terjaring OTT oleh KPK," tambah dia.
Sebelumnya, Direktur Kewaspadaan Nasional Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Akbar Ali mengungkapkan tingginya biaya untuk pelaksanaan pilkada langsung.
Hal ini, kata dia, berdasarkan informasi dari kepala daerah, tokoh masyarakat dan aparat keamanan.
"Saat kami minta informasi dari sejumlah kepala daerah, sejumlah aparat keamanan dan tokoh masyarakat, ada dampak positif jika pilkada tidak dilaksanakan secara langsung, " ujar Akbar saat membuka acara pemaparan hasil survei evaluasi Pemilu 2019 oleh Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) di Gedung LIPI, Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin.
"Salah satunya menghindari hal yang terjadi saat pilkada langsung. Yang mana anggaran daerah harus terkuras," lanjut Akbar.
Dia memperinci, 40 hingga 45 persen anggaran daerah terkuras untuk pelaksanaan pilkada.
Bahkan, ada beberapa kepala daerah yang mengungkapkan kepadanya bahwa dua hingga tiga tahun setelah pilkada sulit menerjemahkan visi dan misi pemerintah pusat.
"Beberapa kepala daerah bilang jika setelah melaksanakan pilkada yakni sekitar dua hingga tiga tahun itu, APBD itu sulit untuk terjemahkan visi misi pemerintah, karena anggaran habis," tutur Akbar.
Akbar lantas menggambarkan konstruksi APBD daerah yang setiap tahunnya lebih banyak diperuntukkan untuk biaya rutin.
"Hampir 70-75 persen habis untuk rutin. Sisa 25 persen untuk belanja modal. Bisa dibayangkan jika pilkada langsung bagaimana," tutur Akbar.
Sementara itu, lanjut dia, anggaran yang dikeluarkan oleh pasangan calon kepala daerah pun besar.
Rata-rata paslon yang mengikuti pilkada harus menyiapkan dana sekitar Rp 20 miliar.
"Untuk paslon itu sendiri mungkin rata-rata minimal sekitar Rp 20 miliar habis untuk pilkada," tambah Akbar.
Mendagri Tito Karnavian mengatakan salah satu alasan dirinya mengusulkan evaluasi pilkada secara langsung adalah karena biaya politik yang tinggi.
Tito menjelaskan, biaya politik mahal itu mulai dari dana yang dikeluarkan Anggaran Pendapatan danBelanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatandan Belanja Daerah (APBD).
Selain itu, calon kepala daerah juga mengeluarkan biaya tinggi. Sebab, tidak ada yang gratis dalam pilkada langsung.
Ia mencontohkan, seorang calon bupati bisa mengeluarkan biaya sebesar Rp 30 miliar untuk ikut pilkada.
"Untuk jadi bupati kalau enggak punya Rp 30 miliar, enggak berani," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019) lalu.
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/03/05400011/kemendagri--paslon-bisa-keluarkan-dana-rp-25-30-miliar-saat-pilkada