Munas rencananya dilakukan pada awal Desember 2019 mendatang.
Jelang pemilihan ketua umum ini, sejumlah dinamika pun muncul. Mulai dari nama calon ketua umum, hingga mekanisme pemilihan ketua.
Berikut sejumlah fakta yang dirangkum:
1. Sinyal Kandidat
Sejumlah nama kader Golkar disebut-sebut bakal mencalonkan diri sebagai ketua umum.
Di antara nama yang beredar, dua nama yang santer terdengar adalah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Wakil Koordinator Bidang Pratama Bambang Soesatyo.
Airlangga sempat meminta supaya tak ada aksi saling sikut di internal partai. Ia berharap supaya munas dapat mengedepankan azas demokratis.
Hal ini disampaikan Airlangga dalam forum rapat pimpinan nasional (rapimnas) yang dihadiri petinggi dan kader Golkar, termasuk Bambang Soesatyo.
"Kia bertekad bahwa masa lalu sudah lewat. Tidak lagi ada masanya kita pecah ataupun saling sikut," kata Airlangga di Ritz Carlton, Jakarta Selatan, Kamis (14/11/2019).
Sementara itu, Bambang Soesatyo mengaku belum membuat keputusan.
Ia tidak mengiyakan bakal mencalonkan diri sebagai ketua umum dalam munas, tetapi, tidak juga membantah.
"Saya sendiri pada saatnya akan memutuskan apakah saya akan maju atau tidak. Tapi sebelum saya nyatakan, bukan berarti saya tidak maju," kata Ketua MPR itu.
2. Ingin Aklamasi
Hingga saat ini, mekanisme pemilihan calon ketua umum belum ditetapkan oleh Golkar.
Meski begitu, Airlangga Hartarto melempar sinyal bahwa pemilihan ketua umum Golkar yang baru dapat dilakukan secara aklamasi.
Menurut Airlangga, mekanisme aklamasi pun bagian dari demokrasi.
"Aklamasi itu bagian dari demokrasi juga," kata Airlangga.
Airlangga mengatakan, pemilihan ketua umum melalui aklamasi tidak sekali terjadi di internal Golkar.
Sebelumnya, Aburizal Bakrie juga terpilih sebagai ketua umum melalui aklamasi. Airlangga pun pada 2017 terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi menggantikan Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi.
Meski demikian, Airlangga menyerahkan mekanisme pemilihan ketua umum kepada partai.
"Ya itu dipulangkan kepada seluruh pemegang suara," ujarnya.
3. Memecah Partai
Di sisi lain, Bambang Soesatyo menyebut, pemilihan ketua umum partai secara aklamasi berpotensi memecah belah partai.
Dalam tubuh Golkar, mekanisme aklamasi ini terbukti pernah membagi partai menjadi dua kubu.
"Tapi yang pasti kita punya pengalaman pahit, pemaksaan aklamasi itu membuat kita pecah dan kita pernah pecah ada (kubu) Ancol dan (kubu) Bali. (Kubu) Bali itu kan pemaksaan aklamasi yang melahirkan (kubu) Ancol," kata Bambang.
Bambang mengatakan, sejarah tersebut seharusnya menjadi renungan bagi internal Golkar, dan tidak kembali diulangi.
"Pelajaran pahit ini harus jadi renungan bagi kita semua bahwa demokrasi yang ada di Golkar jangan dibunuh, biarkan dia berkembang," ujar dia.
Bambang menambahkan, jika seorang calon ketua umum yakin punya basis suara yang besar, seharusnya, ia tidak punya ketakutan sehingga harus merancang mekanisme aklamasi.
"Kalau yakin didukung mayoritas pemilik suara, kenapa mesti takut kemudian merancang untuk aklamasi. Pasti demokrasi dan menang itu akan tercapai melalui pertarungan di munas (musyawarah nasional)," katanya.
4. Musyawarah Mufakat
Adapun Ketua Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakrie berharap agar pemilihan ketua umum Golkar dilakukan secara musyawatah mufakat.
Artinya, para calon ketua umum berunding dalam forum munas untuk menentukan satu orang ketua umum.
"Jadi kalau calonnya ada beberapa, kan kalau bermusyawarah kan baik. Tenaga kan bisa disimpan untuk berkompetisi dengan pihak lain, paling baik musyawarah mufakat," kata Aburizal.
Aburizal meminta para calon ketua umum untuk mengesampingkan ego masing-masing. Ia juga meminta seluruh kader Golkar bersatu menghimpun kekuatan.
Hal ini, menurut dia, sangat diperlukan untuk kebaikan Golkar ke depan.
"Kita kesampingkan ego-ego yang ada. Di situlah, Golkar akan menjadi pemenang," ujar Aburizal.
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/15/07210821/dinamika-jelang-munas-golkar-dari-aklamasi-hingga-potensi-perpecahan