Salin Artikel

Sejumlah Hal ini Jadi Alasan UU PKS Harus Segera Disahkan

Pasalnya, RUU ini sudah dibahas cukup lama, terhitung sejak tahun 2017.

Desakan muncul dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis perempuan, Komnas Perempuan, hingga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) Yohana Yambise.

UU PKS dianggap krusial untuk disahkan karena memuat hal-hal yang tidak diatur di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati mengatakan, RUU PKS menjadi darurat bukan karena sekadar angka kasus yang tercatat saja. Melainkan karena layanan terhadap korban kekerasan seksual yang tidak memadai.

“Dari sekian ratus kasus kekerasan seksual, yang dilaporkan hanya 10 persen, yang masuk ke persidangan jadi 5 persen, yang divonis dengan hukuman, mungkin sekitar 2-3 persen,” ujar Nurherwati.

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Andi Komara menyebutkan, RUU PKS mengatur jenis kekerasan seksual seperti perbudakan seksual, eksploitasi seksual, serta pemaksaan perkawinan.

Tak hanya mengatur hukuman bagi pelaku kekerasan seksual, RUU PKS juga mengatur pencegahaan kekerasan seksual.

RUU yang mengacu pada pengalaman para korban kekerasan seksual tersebut juga mengutamakan hak-hak terhadap korban yang selama ini kerap diabaikan.

"Dari pengalaman saya mendampingi korban kekerasan seksual memang sangat sulit, pasti polisi bilang kejadian tersebut suka sama suka. Terus ditanya kenapa nggak langsung lapor? Mana mungkin korban bisa langsung lapor, kan ini terkait kesiapan mental. Orang yang baru diperkosa kan pasti trauma, butuh keberanian untuk melapor," kata Andi.

Mengatur 9 jenis kekerasan seksual

Draf RUU PKS menyebutkan ada sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual.

Kesembilan jenis tindak pidana tersebut yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawainan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Kekerasan seksual meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik dan situasi khusus lainnya.

Menurut Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan Masruchah, definisi tindak pidana kekerasan seksual tidak lagi sebatas kekerasan fisik atau penetrasi alat kelamin.

Contohnya, tindak pidana perkosaan dalam perkawinan.

Meski telah dikategorikan sebagai tindak pidana, namun perkosaan dalam perkawinan tidak diatur dalam RUU KUHP maupun KUHP yang kini masih berlaku.

Masruchah mengatakan, hubungan seksual yang berdasarkan pada pemaksaan dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual meski dalam relasi perkawinan.

"Ketika memang tidak ada persetujuan, ini ada pemaksaan, ini kaitan dengan ancaman bila tidak dilakukan, ini artinya bagian yang yang kita kenali sebagai perkosaan," ucap Masruchah.

Pengaduan kasus kekerasan seksual meningkat

Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2019 yang dirilis Komnas Perempuan menunjukkan adanya peningkatan pengaduan kasus kekerasan.

Pada tahun 2018, Komnas Perempuan mencatat peningkatan pengaduan sebesar 14 persen dari tahun sebelumnya.

Peningkatan ini memang mengindikasikan semakin membaiknya kesadaran masyarakat untuk mengungkap kasus kekerasan seksual.

Kendati demikian, dibutuhkan pula legislasi yang mampu mencegah angka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan semakin tinggi.

Sebab, saat ini masih banyak perempuan korban pelecehan seksual yang justru dikriminalisasi karena tidak ada payung hukum untuk melindungi perempuan.

Regulasi ini akan menjadi pelindung bagi korban pelecehan yang selama ini takut melapor.

Masruchah menilai, RUU PKS dapat menjadi langkah awal dalam meruntuhkan relasi kuasa dan budaya patriarki.

Dua hal tersebut dinilai menjadi penyebab kekerasan seksual terhadap perempuan.

Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran dan inses (perkosaan oleh orang yang memiliki hubungan darah) masih merupakan kasus yang dominan dilaporkan.

Kasus marital rape atau perkosaan dalam perkawinan juga mengalami peningkatan pada tahun 2018.

Menurut Masruchah, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi karena ketimpangan relasi kuasa. Misalnya, antara dosen dengan mahasiswa atau orangtua dengan anak.

Begitu juga dengan budaya patriarki yang menganggap laki-laki memiliki kedudukan atau derajat yang lebih tinggi terhadap perempuan.

Jika mengacu pada draf RUU PKS, kata Masruchah, ada ketentuan pasal yang dapat digunakan untuk meruntuhkan kedua faktor itu.

"Misalnya kasus aborsi, kalau di dalam RUU KUHP bicara untuk pelaku yang melakukan aborsi, tapi kalau di RUU PKS bicara yang menyuruh aborsi. Karena sebenarnya ini terkait dengan relasi kuasa," kata Masruchah.

Isi RUU yang disorot

Komnas Perempuan selaku penggagas RUU PKS menyebutkan beberapa poin penting dalam rancangan regulasi tersebut.

Komnas Perempuan berharap poin tersebut dipertahankan hingga RUU tersebut disahkan.

Poin pertama adalah pencegahan yang melibatkan masyarakat hingga tokoh adat.

Kemudian, diatur pula kurikulum terkait kekerasan seksual dan pembangunan infrastruktur, seperti pemasangan kamera closed circuit television (CCTV).

Tujuannya, tercipta perubahan paradigma yang menjamin masyarakat terbebas dari kekerasan seksual.

Kemudian, soal hukum acara, yang meliputi pelaporan hingga persidangan.

Komnas Perempuan ingin menciptakan proses hukum yang lebih merangkul korban dan memperhatikan haknya.

Poin selanjutnya terkait pemidanaan, di mana terdapat sembilan bentuk kekerasan seksual.

Dalam poin terkait pemidanaan, Komnas Perempuan mengusulkan pemidanaan secara bertingkat, dan memasukkan jenis hukuman seperti rehabilitasi khusus untuk anak di atas 14 tahun agar tidak mengulangi perbuatannya.

Berikutnya, Komnas Perempuan juga mengusulkan poin soal restitusi atau ganti rugi.

"Secara prinsip restitusi ini diatur bagaimana memudahkan akses pemulihan korban di dalam pascaproses penegakan hukumnya," kata Nurherwati.

Dua poin terakhir yang diusulkan Komnas Perempuan adalah pemulihan bagi korban dan keluarganya serta pemantauan.

https://nasional.kompas.com/read/2019/09/23/14401061/sejumlah-hal-ini-jadi-alasan-uu-pks-harus-segera-disahkan

Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke