Berdasarkan rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah, Senin (16/9/2019), ada tujuh poin perubahan pada UU KPK yang disepakati.
Berikut ketujuh poin tersebut disertai catatan kritik yang dihimpun dari aktivis antikorupsi dan akademisi:
1. Status Kedudukan Kelembagaan KPK
Setelah direvisi, status kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif, tetapi tetap melaksanakan tugas dan kewenangan secara independen.
Hal ini mengacu pada putusan MK Nomor 36 Tahun 2017.
Pada UU KPK sebelum direvisi, KPK disebut hanya lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
2. Dewan Pengawas KPK
Setelah UU KPK direvisi, tim penasihat KPK dihapus dan digantikan oleh dewan pengawas yang terdiri dari satu ketua dan empat anggota dan dipilih oleh presiden.
Dewan pengawas nantinya memiliki kewenangan melaksanakan tugas dan wewenang KPK, memberi/tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai, memeriksa dugaan pelanggaran kode etik, mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK setahun sekali.
Dewan pengawas juga wajib melaporkan kinerja ke presiden dan DPR setahun sekali.
Keberadaan dewan pengawas yang masuk ke dalam teknis penanganan perkara sempat dikritik. Dewan pengawas dinilai berpotensi mengganggu proses penanganan perkara karena dugaan konflik kepentingan.
3. Pembatasan Fungsi Penyadapan oleh KPK
Setelah UU KPK direvisi, KPK diwajibkan meminta izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap. Dewan pengawas memberikan izin penyadapan dalam waktu 1×24 jam.
UU KPK mengatur jangka waktu penyadapan selama 6 bulan dan dapat diperpanjang satu kali dalam jangka waktu yang sama.
KPK juga wajib memusnahkan hasil penyadapan yang tidak terkait dengan kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Pihak yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana.
4. Mekanisme Penerbitan SP3 oleh KPK
KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap perkara tipikor yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun.
SP3 juga harus dilaporkan ke dewan pengawas paling lambat satu minggu sejak dikeluarkannya SP3.
Catatan Kompas.com, ada diskriminasi terkait kewenangan SP3 ini di antara KPK, Polri, dan Kejaksaan.
Di kedua lembaga itu, kewenangan SP3 tidak dibatasi waktu. Pembatasan hanya berdasarkan kedaluwarsa perkara sesuai ancaman hukuman.
Berdasarkan putusan MK, ketiadaan kewenangan SP3 tidak melanggar HAM, justru KPK lebih dituntut berhati-hati dalam menetapkan tersangka. Ini juga bisa menutup celah makelar kasus.
5. Koordinasi KPK dengan Penegak Hukum
KPK wajib berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dalam hal pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
KPK juga bisa mengambil alih perkara dalam tahap penyidikan dan penuntutan.
Sementara pasal sisipan dihapus, yakni Pasal 12A, terkait keharusan KPK berkoordinasi dengan kejaksaan dalam melaksanakan penuntutan dihapus. Pemerintah mengusulkan pasal ini untuk dihapus.
6. Mekanisme Penyitaan dan Penggeledahan
Setelah UU KPK direvisi, sebelum melakukan penggeledahan dan penyitaan, KPK mesti meminta izin tertulis dari dewan pengawas.
Dewan pengawas bisa memberi/tidak memberi izin dalam waktu 1x24 jam sejak permintaan diajukan. Hal ini diatur dalam Pasal 47 ayat 1 dan 2.
Pada UU KPK sebelumnya, KPK tidak perlu meminta izin kepada siapa pun untuk menggeledah dan menyita, selama ada dugaan kuat serta bukti permulaan yang cukup.
7. Status Kepegawaian KPK
Status kepegawaian KPK sebagai ASN dan tunduk pada ketentuan UU ASN. Pengangkatan pegawai juga sesuai UU ASN.
Status pegawai KPK ini juga sempat jadi kritik. Sebab, apabila pegawai KPK menjadi ASN, ditengarai bisa mengganggu independensi pegawai KPK, terlebih lagi yang ditangani adalah pejabat negara yang statusnya lebih tinggi dari pegawai tersebut.
Begitu pula saat melakukan pencegahan, berpotensi tidak optimal karena yang disuruh adalah penyelenggara negara dengan tingkatan lebih tinggi.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/17/13463731/ini-7-poin-revisi-uu-kpk-beserta-catatan-kritisnya