Salin Artikel

Hari Ini 18 Tahun Lalu, Megawati Soekarnoputri Torehkan Sejarah Politik Indonesia

 

KOMPAS.com — Hari ini, 18 tahun lalu, 23 Juli 2001, ruas jalan dan pusat niaga Jakarta lebih lengang dari biasanya. Padahal, di hari itu Indonesia tengah mencatat sejarah.

Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri atau dikenal dengan nama Megawati Soekarnoputri dilantik sebagai perempuan presiden pertama di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Berdasarkan catatan harian Kompas, 24 Juli 2001, yang berjudul "Kemenangan Mega Disambut Tenang", Sidang Istimewa (SI) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pelantikan Megawati yang digelar Senin (23/7/2001) sore tak disambut perayaan meriah oleh pendukungnya.

Di kantor DPP PDI-P di Pecenongan, Jakarta, tak ada kegiatan mencolok. Hanya ada sekitar 30 satuan tugas (satgas) yang mengamankan kantor mereka.

"Tidak ada perintah khusus berkaitan dengan pelantikan Ibu Mega. Setiap warga PDI-P hanya diminta untuk menjaga lingkungan masing-masing," kata Richard GE Tulis, Ketua DPD PDI-P Jakarta Pusat yang sedang mengoordinasikan para anggota satgas kala itu.

Yang lebih penting adalah mencegah supaya tidak terjadi kericuhan akibat pancingan pihak yang tidak bertanggung jawab.

"Kita tentu saja gembira dengan pengangkatan Mbak Mega. Hanya, seperti pesan Mbak Mega, kegembiraan ini tidak boleh ditunjukkan secara berlebihan," kata Henny Kumbariyam (37), Wakil Sekretaris DPD PDI-P DKI Jakarta yang ditemui di Posko PDI-P di kawasan Karet.

Di posko itu, simpatisan PDI-P sejak pukul 08.00 mengikuti jalannya SI MPR dari siaran televisi atau radio. Diseling jeda maghrib, di panggung yang mereka dirikan, sebuah grup band mengiringi para penyanyi dari utusan cabang PDI-P Jakarta Pusat. Sekitar 100 orang menikmati hiburan yang disajikan.

Bagi Jimmy Aryana Semeth (43), korban kasus 27 Juli yang ditemui di bekas kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, kemenangan Megawati ini terasa biasa-biasa saja dan tidak perlu dirayakan secara berlebihan.

"Memang sudah haknya meski saya lebih senang Mbak Mega jadi presiden tahun 1999 atau 2004 sekalian."

Suasana politik yang mewarnai pelantikan Megawati kala itu memang tak elok untuk dirayakan dengan penuh kegembiraan. Di Istana Negara Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dilengserkan MPR tengah meradang. Ia tidak menerima keputusan MPR yang mencabut mandatnya sebagai presiden.

Relasi personal para tokoh reformasi memanas. Hubungan baik Gus Dur dan Megawati meruncing. Amien Rais yang semula menolak Megawati sebagai presiden berbalik angin.

Situasi politik dan ekonomi pasca-reformasi juga terasa tidak menentu akibat kepemimpinan Gus Dur yang penuh kontroversi.

Gus Dur berseteru hebat dengan DPR saat menyebut DPR seperti taman kanak-kanak. Gus Dur pun sempat mengeluarkan dekrit pembubaran DPR. Manuver Gus Dur disambut dingin. Mahkamah Agung memutuskan dekrit yang dikeluarkan Gus Dur bertentangan dengan hukum.

Lalu, hari ini 18 tahun lalu, parlemen yang berseberangan dengannya bersatu kubu dengan Megawati, wakilnya menakhodai negeri. Gus Dur ditinggal pergi. Sendiri.

Itulah kenapa kemenangan Mega atas kursi presiden berlangsung sunyi.  

Takdir yang tertunda

Perjalanan Megawati ke kursi RI 1 sungguh tak mulus. Dua tahun sebelum pelantikan itu, Megawati sebenarnya adalah sosok yang dielu-elukan sebagai presiden pengganti BJ Habibie. Ia simbol perlawanan terhadap Orde Baru yang tumbang pada 21 Mei 1998.

Menjelang kejatuhan Orde Baru, Megawati berhasil menguasai Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan mengubahnya menjadi PDI Perjuangan (PDI-P). Dukungan untuk Mega sebagai bentuk perlawanan terhadap Soeharto kala itu tak terbendung.

Sayangnya, di Pemilu 1999 Megawati gagal jadi presiden. Padahal, saat itu PDI-P menjadi partai pemenang setelah meraih sekitar 36 juta suara atau hampir 34 persen.

Saat itu presiden belum dipilih langsung oleh rakyat, masih dipilih oleh MPR.

Pemilihan presiden yang dilakukan MPR diwarnai tarik-menarik kepentingan. Ada dua kubu yang bersaing di MPR, yaitu PDI-P dan kubu Partai Golkar yang dinilai sebagai pewaris Orde Baru.

Amien Rais yang kala itu masih memimpin Partai Amanat Nasional (PAN) mulanya satu kubu dengan Mega sebagai penggerak reformasi. Namun, ia “menelikung” Mega di tengah jalan dengan membentuk Poros Tengah.

Poros Tengah terdiri dari partai-partai Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa, PAN, Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan (sekarang menjadi PKS). Mereka menolak Megawati menjadi presiden dengan alasan jender.

Dikutip dari catatan harian Kompas, 27 Juni 1999, berjudul "Dibahas, Jalan Tengah Pencalonan Presiden", PPP dan PK tetap pada pendiriannya menolak presiden dari kalangan perempuan.

Menurut Ketua Umum PPP Hamzah Haz, PPP berpegang pada fatwa ulama yang tidak memperbolehkan wanita menjadi presiden.

"Kalau Mbak Mega jadi presiden, kami tidak bersedia duduk dalam pemerintahan," kata Hamzah kala itu.

Poros Tengah pun mengantarkan Gus Dur sebagai presiden, mengalahkan Megawati dalam voting MPR. Gus Dur meraih 373 suara, sementara Megawati 313 suara.

Kendati demikian, Megawati berbesar hati dan tetap menjalani peran sebagai wakil presiden.

Namun, pada 2001 dinamika politik berbalik arah. Amien Rais yang saat itu merupakan Ketua MPR memotori Sidang Istimewa yang berujung pada jatuhnya Gus Dur.

Megawati pun naik menjadi presiden merebut takdirnya yang tertunda. Dan, Hamzah Haz yang semula menolak Megawati tak lagi buka suara saat MPR memilihnya mendampingi Megawati sebagai wakil presiden.

Begitulah politik.

https://nasional.kompas.com/read/2019/07/23/09404721/hari-ini-18-tahun-lalu-megawati-soekarnoputri-torehkan-sejarah-politik

Terkini Lainnya

Pengusaha Hendry Lie Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah

Pengusaha Hendry Lie Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo: Kami Maju dengan Kesadaran Didukung Kumpulan Tokoh Kuat, Termasuk PBNU

Prabowo: Kami Maju dengan Kesadaran Didukung Kumpulan Tokoh Kuat, Termasuk PBNU

Nasional
Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Nasional
Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Nasional
Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Nasional
Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show 'Pick Me Trip in Bali'

Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show "Pick Me Trip in Bali"

Nasional
Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Nasional
Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Nasional
Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Nasional
Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Nasional
Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Nasional
Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke