Adrianus memandang hal ini terjadi lantaran pelayanan publik saat Pemilu 2019 diselenggarakan dalam waktu singkat, kompleks dan dalam tekanan tinggi.
"Nampaknya kami melihat bahwa amat minimal ketentuan kebijakan yang diciptakan untuk mencegah terjadinya kelelahan bahkan kematian," kata Adrianus dalam konferensi pers Memahami Kematian Petugas KPPS dalam Perspektif Pelayanan Publik di Ombudsman, Jakarta, Senin (20/5/2019).
Adrianus menyoroti tiga permasalahan. Pertama, ada kesan penyikapan Pemilu 2019 sama dengan Pemilu sebelum-sebelumnya. Sehingga semua pihak belum mampu menyesuaikan diri, termasuk menyangkut keselamatan dan kesehatan petugas Pemilu.
"Kami juga melihat bahwa ada semacam pembenaran dalam voluntarisme, kesukarelaaan yang dilakukan petugas itu, sementara yang bersangkutan tidak memahami apa yang berpotensi terjadi pada diri mereka," ujarnya.
Ketiga, kata dia, tidak adanya reaksi cepat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Kementerian Kesehatan untuk mencegah atau menekan jatuhnya korban petugas Pemilu.
Menurut Adrianus, sebagai pemberi layanan, petugas Pemilu seharusnya mendapatkan informasi secara utuh terkait hak, kewajiban dan risiko kerja.
"Jadi, jangan hanya sekadar bahwa dia bekerja. Tapi dia harus tahu risikonya. Minimal kita perlu menjelaskan bahwa, kalau Bapak, Ibu punya riwayat jantung, darah tinggi atau gula, misalnya, maka ketika Bapak, Ibu bekerja bisa gawat loh," kata Adrianus.
Menurut dia, kebijakan informasi seperti ini penting guna menjalin kesepakatan dan kesepahaman bersama.
"Setelah kemudian dia tahu bahwa bisa gawat namun dia tetap memutuskan tetap menjadi KPPS, oke. Itu timbul kesepakatan bersama. Kalau dia tidak tahu kan, kasihan," ujarnya.
Ia memandang tidak berimbangnya pemberitahuan hak dan kewajiban antara masyarakat pemilih dan petugas Pemilu menciptakan ketidakadilan sendiri.
"Pemilu 2019 lebih fokus pada proses penyelesaian pemungutan dan penghitungan suaranya. Dengan kata lain lebih memerhatikan faktor masyarakat pemilih sebagai penerima layanan. Jadi tidak imbang, ya. Sebaliknya sedikit sekali hal yang dilakukan terkait aspek keselamatan kerja dan kesehatan petugas Pemilu selaku pemberi layanan," papar dia.
"Jangan kemudian honornya rendah tapi beban kerjanya berat, risikonya besar, itu kan menjadi enggak adil," sambung dia.
Di sisi lain, ia juga menyoroti tidak adanya unit kerja atau satuan tegas untuk memantau keselamatan dan kesehatan para petugas.
Adrianus menyimpulkan adanya indikasi maladministrasi pada sejumlah pihak terkait.
"KPU karena tidak melakukan upaya maksimal dalan mencegah, juga Bawaslu sebagai oversight mengingatkan agar jangan sampai ada korban. Kemenkes dalam memberikan perhatian terhadap yang sakit. Dan negara secara umum sebagai pihak yang menyusun undang-undang. Itu indikasi maladministrasi yang kami temukan," papar dia.
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/20/13480061/ombudsman-soroti-minimnya-kebijakan-menyangkut-kesehatan-dan-keselamatan