Namun, partai masih menginginkan dirinya maju kembali. Eva pun menjadikan Pemilu 2019 sebagai yang terakhir untuknya.
"Kemarin kan kegagalan, PAW (Pergantian Antar Waktu). Selain masih dipercaya oleh partai untuk dicalegkan, saya juga ingin mengakhiri ini dengan kemenangan. Mungkin periode depan aku udah enggak nyaleg lagi. Tapi mosok sih aku kalah. Jadi ya pingin maju," ujar Eva saat dihubungi, Kompas.com.
Ia mengungkapkan, Pemilu Legislatif 2019 berbeda dari Pemilu Legislatif sebelum-sebelumnya. Perbedaan yang sangat terasa ialah panjangnya masa kampanye.
Jika dulu masa kampanye hanya tiga bulan, sekarang menjadi tujuh bulan.
Hal itu berakibat pada melonjaknya biaya politik para caleg. Namun, sebagai petahana, ia bisa menyiasati program kampanye dengan digabungkan dalam program DPR.
"Ini kan dampaknya kepada pembiayaan. Tapi kan untung aku sudah di DPR. Jadi aku nebeng dengan biaya yang di DPR lah. Sosialisasi 4 Pilar lah. Jadi kalau pendatang baru masuk ke 2019 ini mendem (mabuk). Berat. Jadi biaya tinggi banget. Aku beruntung karena sudah di DPR," ujar Eva.
Selain itu, Eva merasa diuntungkan dengan soliditas tim kampanyenya yang sudah lama terbentuk, sehingga target pemilih cepat terpetakan.
Eva pun mengganti strateginya merebut suara di Pemilu Legislatif 2019. Jika sebelumnya ia langsung bertemu pemilihnya, kali ini ia berkampanye lebih banyak kepada tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh.
Cara itu, kata Eva, lebih efektif dan efisien untuk meraih banyak suara dalam waktu singkat. Ia merasa waktu tujuh bulan kampanye masih belum cukup untuk menemui satu per satu pemilihnya di Derah Pemilihan Jawa Timur VI.
Dapilnya meliputi Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Blitar.
"Kalau sekarang aku ganti strategi. Aku ketemu dengan para tokoh masyarakat yang punya pengikut. Kalau voter langsung beberapa kali ke pasar ketemu Bu Guru. Tapi Bu Guru tak pilih yang punya follower. Sekarang fokus kepada tokoh," lanjut dia.
Saat ditanya besaran dana kampanye yang disiapkan, Eva mengatakan, sudah mencapai angka mendekati Rp 2 miliar.
Ia mengatakan, Alat Peraga Kampanye (APK) menghabiskan anggaran paling besar, yakni mencapai 60 persen.
"Mostly APK. APK. Karena ini metodenya kompleks jadi aku harus memproduksi replika surat suara sebanyak mungkin. Ada 4.000-an. Karena aku harus make sure They know what to do on the day. Jadi ini yang dicoblos. Iya simulasi surat suara," ujar Eva.
Eva mengatakan, tak jarang ia berkolaborasi dengan caleg DPRD kabupaten dan kota serta provinsi.
Biasanya para caleg DPRD meminta namanya dimunculkan dalam simulasi surat suara bersama Eva.
Eva biasanya menyediakan dananya lalu para caleg DPRD membantu menyosialisasikan ke pemilih.
Saat ditanya ihwal paradigma semakin besar dana maka semakin besar peluang kemenangan, Eva membenarkan hal tersebut. Hanya, menurut Eva, sang caleg harus tepat menggunakan dananya.
Ia mengatakan, caleg harus bisa memastikan dana yang dikelola menjadi program kampanye sampai ke pemilih yang potensi memilihnya besar.
"Realitasnya itu. Memang itu fungsi dari modal. Tapi modal lebih banyak, tapi salah masukin ya bisa benjut (benjol). Makanya tim itu penting untuk memastikan nyampe kepada sana," palar Eva.
"Aku beruntung PDI-P di sini dominan. Dan strukturnya bagus, kuat, basisnya ada betul, bukan floating," lanjut dia.
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/13/20290741/cerita-caleg-eva-sundari-ingin-tutup-karier-politik-di-pemilu-2019