Terkait ongkos politik, miliaran rupiah menjadi nominal yang dianggap normal untuk dikeluarkan dalam kontestasi ini.
Mantan anggota DPR dua periode, Poempida Hidayatulloh, menceritakan pengalamannya terkait ongkos politiknya pada Pileg 2009 dan 2014 lewat Partai Golkar.
Dia juga berbagi pandangannya tentang modal miliaran rupiah itu tidak bisa jadi standar bagi caleg lain.
Adapun Poempida telah mengundurkan diri sebagai anggota DPR karena diangkat menjadi Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan. Dia juga tidak mencalonkan diri lagi pada Pileg 2019 karena masa jabatannya di BPJS Ketenagakerjaan berakhir pada 2021.
Hitung-hitungan ongkos
Poempida dulunya merupakan caleg dari daerah pemilihan Sumatera Barat I. Sejak awal pencalegan, dia sudah bisa mengalkulasikan besar biaya yang harus dia keluarkan.
"Kalau saya dulu begini untuk menghitung biaya saya. Untuk lolos, dulu saya perlu suara 180.000. Saya misalnya cuma bisa mengeluarkan biaya per orang itu Rp 50.000 per orang," ujar Poempida, kepada Kompas.com, Kamis (11/4/2019).
Poempida mengatakan, uang Rp 50.000 itu bukan bentuk politik uang. Uang tersebut merupakan ongkos sosialisasi yang dia keluarkan untuk satu orang.
Misalnya, untuk kaus dan konsumsi saat kampanye. Poempida mengatakan, itu hanyalah gambaran idealnya.
Dia sendiri juga tidak memaksakan diri untuk bisa memenuhi standar itu. Biaya sosialisasi itu menjadi satu hal yang dia keluarkan.
Poempida juga membutuhkan ongkos untuk mencetak alat peraga kampanye (APK). Untuk APK, dia bekerja sama dengan caleg lokal untuk menekan biaya kampanye.
Misalnya, satu spanduk digunakan untuk sosialisasi dua caleg yang berbeda tingkat.
Selain itu, Poempida pribadi mengeluarkan uang untuk melakukan survei di dapilnya.
Survei ini dia lakukan mendekati akhir masa kampanye. Meski demikian, dia mengakui bahwa hasil survei caleg tidak bisa seakurat pilpres.
Untuk memenuhi semua kebutuhan itu, Poempida mengaku mengeluarkan miliaran rupiah. Dia tidak menyebutkan secara rinci berapa angka yang dia keluarkan.
"Tetapi pada saat 2014, saya mengeluarkan tidak sampai Rp 5 miliar dan pada 2009 tidak sampai Rp 2 miliar," ujar dia.
Tak perlu jadi standar
Meski demikian, Poempida mengatakan, ongkos miliaran itu tidak perlu jadi standar sebab akan memberatkan, khususnya bagi caleg-caleg baru yang tidak memiliki banyak uang.
Menurut dia, hal yang harus dilakukan adalah membuat target yang tepat.
"Kalau kita punya uang segitu, ya sudah segitu saja, semampunya. Kalau enggak punya uang, ya enggak perlu bagi-bagi atribut karena pada akhirnya ini bagaimana kita meyakinkan mereka," ujar Poempida.
Inti dari kampanye adalah caleg bisa bertemu dengan masyarakat di dapilnya. Kemudian caleg tersebut bisa menyampaikan ide dan gagasan yang ingin diwujudkan jika terpilih nanti.
"Dan banyak kok cara untuk itu, banyak sekali. Kalau misalnya orangnya dalam tanda kutip rada gila sedikit saja, dia main saja tuh di satu angkot, di satu bus. Tidak usah keluar angkot, semua penumpang yang naik dia sapa," ujar Poempida.
"Artinya, di mana dia bisa bertatapan dengan orang dan bisa sampaikan idenya, kenapa enggak?" kata dia.
Memang, usaha para caleg dengan modal minim ini akan mudah sekali tergerus oleh caleg yang melakukan politik uang. Poempida sendiri merasakan hal itu meski dia sudah mengeluarkan ongkos miliaran.
Namun, dia percaya masih begitu banyak masyarakat yang baik dan tulus mendukung. Dia mengatakan, masyarakat yang memilihnya dulu adalah buktinya.
Dia tidak melakukan politik uang, tetapi dipilih oleh konstituennya. "Buktinya ada puluhan ribu orang yang memilih saya," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/13/07565981/haruskah-caleg-keluar-ongkos-miliaran-agar-dapat-kursi