"Siapapun presiden terpilih harus membangun kemandirian pertahanan. Ancaman invansi konvensional tidak terlalu signifikan setidaknya lima tahun ke depan," kata Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI Diandra Mengko di Gedung LIPI, Senin (1/4/2019).
Berdasarkan hasil survei ahli LIPI pada 2018, 61 persen ahli mengatakan sistem pertahanan Indonesia belum efektif dalam menghadapi ancaman.
Adapun tiga alasan utamanya adalah kualitas personil, alat utama sistem senjata (alusista) terbatas, dan kurangnya koordinasi dengan Polri.
Oleh sebab itu, Diandra menyebut komitmen membangun industri pertahanan dalam negeri adalah hal paling penting untuk membangun kemandirian pertahanan. Dia menilai Indonesia masih memiliki ruang dan waktu untuk mewujudkan hal tersebut.
Tugas kedua pemimpin terpilih, kata dia, adalah meningkatkan profesionalisme TNI. Artinya, pemerintah harus konsisten membangun TNI mulai dari pembinaan karier sampai kesejahteraan seperti rumah dinas.
"Jangan sampai ingin TNI profesional, tapi anggotanya ditempatkan di instansi sipil yang tidak terkait," ujarnya.
Diandra mengatakan, jika memang ingin membangun TNI untuk berperang, maka pembinaan karier anggotanya perlu dibangun dengan optimal. Bahkan, kata dia, jika diharuskan membuat struktur baru, hal itu lebih efektif untuk memaksimalkan peran TNI.
"Misalnya komando armada dan komando operasi udara. Ini bagus sekali karena ini struktur untuk perang," tuturnya.
Tugas terakhir, lanjutnya, yaitu menyelesaikan mandat legislasi. Dia mencontohkan bagaimana kesiapan pemimpin terpilih untuk membentuk undang-undang (UU) reformasi peradilan militer dan UU perbantuan TNI ke Polri.
"Karena selama ini (perbantuan TNI ke Polri) baru menggunakan nota kesepahaman (MoU)," pungkasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/01/16020631/peneliti-lipi-siapa-pun-presiden-terpilih-harus-bangun-kemandirian