Salin Artikel

Ada Sejumlah Hal yang Melatari Basarah Sebut "Soeharto Guru Korupsi"

Pertama, karena calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto mengeluarkan pernyataan bahwa kondisi korupsi di Indonesia saat ini sudah seperti penyakit kanker stadium 4. Basarah menilai, kubu Prabowo telah mengidentikkan dirinya sebagai bagian dari kelompok Orde Baru.

"Dalam banyak kesempatan, kita sering mendengarkan klaim Pak Prabowo dan Pak Sandiaga yang mengidentifikasi sebagai bagian dari Orde Baru, bahkan salah satu partai pengusungnya adalah Partai Berkarya yang mengampanyekan untuk menghidupkan kembali kepemimpinan di zaman Orde Baru," ujar Basarah dalam konferensi pers di Kantor DPP PDI-P, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Sabtu (1/12/2018).

Karena itu, Basarah mengeluarkan pernyataan bahwa apa yang diungkapkan Prabowo itu bertolak belakang dengan afiliasi kelompoknya sendiri.

Kedua, Basarah tak terima dengan sikap Prabowo yang seolah-olah telah mencoreng muka bangsa sendiri di forum internasional.

"Dalam pandangan saya, Pak Prabowo membongkar aib bangsanya sendiri dengan mengatakan dan menjelaskan kondisi dan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Saya sangat menyayangkan mengapa seorang capres menjelek-jelekkan bangsa sendiri di luar negeri. Bukankah itu membuka aib bangsanya sendiri? Bukannya itu mencoreng bangsanya sendiri?" ujar Basarah.

"Pernyataan itulah yang akhirnya dengan sangat terpaksa saya harus merespons sikap Pak Prabowo itu dengan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang menurut saya sebenarnya bukan hal baru juga di dalam konteks wacana politik," lanjut dia.

Ketiga, apa yang diungkapkan adalah fakta. Penelitian tentang korupsi di era Soeharto yang dilakukan oleh Ketua Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gajah Mada Oce Madril menyebutkan, ada 8 keputusan presiden yang dibuat Soeharto demi memperlancar praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia.

Terakhir, pernyataannya tersebut adalah sebagai bagian dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan dilindungi oleh Undang-Undang Pemilu.

"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, saya dalam kapasitas sebagai TKN yang secara resmi didaftarkan Pak Jokowi dan Kiai Ma'ruf, saya sebagai juru bicara nasional, dibenarkan memberikan penjelasan kepada publik tentang fakta-fakta obyektif yang terjadi. Salah satunya tentang track record dari capres dan cawapres sekaligus sistem yang akan dibangunnya," ujar Basarah.

"Menurut UU Pemilu itu, kami dibenarkan untuk membangun kontra narasi ketika Pak Prabowo sebagai capres mengampanyekan tentang isu korupsi. Ya saya harus menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya korupsi terjadi di Indonesia," lanjut dia.

Polemik itu bermula dari pernyataan Basarah bahwa maraknya korupsi di Indonesia dimulai sejak era Presiden ke-2 Soeharto. Berdasarkan itu, Basarah menyebut Soeharto sebagai guru dari korupsi di Indonesia.

"Jadi, guru dari korupsi di Indonesia sesuai TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 itu mantan Presiden Soeharto dan itu adalah mantan mertuanya Pak Prabowo," kata Basarah saat itu. 

Basarah mengemukakan itu untuk merespons pidato Prabowo di sebuah forum di Singapura. Di sana Prabowo mengatakan, "Isu utama di Indonesia sekarang adalah maraknya korupsi, yang menurut saya sudah seperti kanker stadium 4."

Belakangan, Partai Berkarya berencana melaporkan Basarah ke Polri atas pernyataannya "Soeharto adalah guru korupsi". Namun, saat ini pihak internal Partai Berkarya sedang berkonsultasi dengan keluarga Soeharto terlebih dahulu terkait hal itu.

https://nasional.kompas.com/read/2018/12/01/22350021/ada-sejumlah-hal-yang-melatari-basarah-sebut-soeharto-guru-korupsi

Terkini Lainnya

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke