Selain banyak yang hancur, adanya rencana relokasi membuat hunian tetap belum bisa direalisasikan untuk saat ini.
Menurut Agus, kerusakan bangunan yang terjadi di Sulteng akibat gempa lebih parah dibanding di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Apalagi, di Sulteng juga ada fenomena likuefaksi yang membuat rumah-rumah seolah tertelan bumi.
Karena dua faktor itu, rehabilitasi tempat tinggal yang rusak di Sulteng tak bisa dilakukan dengan cepat.
"Jadi kita kan tidak mungkin membuat kesalahan yang sama membangun rumah-rumah, membangun suatu komunitas di mana di bawahnya itu rentan terhadap bencana," jelas Agus di Kompleks Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (16/10/2018).
Meski demikian, Agus memastikan pendataan terhadap rumah yang rusak saat ini telah berjalan. Pendataan dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Untuk menampung korban, lanjut Agus, Pemerintah siap membangun hunian sementara (Huntara).
Agus menjelaskan, Huntara yang akan dibangun berupa barak. Menurut dia, ada 1.200 barak yang siap dibangun.
"Siap untuk dibangun, lokasinya sudah ada. Bukan rencana, yang sudah siap dibangun 1.200 barak," kata Agus.
Ia menjelaskan, satu barak akan diisi 12 Kepala Keluarga. Adapun dengan estimasi 1 KK terdiri 4 orang. Barak tersebut sudah dilengkapi dengan dapur hingga fasilitas mandi cuci kakus (MCK).
Ia mengakui bahwa 1.200 barak belum cukup untuk menampung seluruh korban gempa yang kehilangan rumahnya. Oleh karena itu, ia memastikan jumlah barak yang dibangun kedepannya akan ditambah.
"Jadi masih sedikit kurang, tapi nanti ada penambahan," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2018/10/16/14291041/soal-pembangunan-rumah-bagi-korban-bencana-di-sulteng-ini-kata-mensos