"Tidak darurat untuk dirinya, tapi misalnya anak saya dapat rubella, kemudian mendekati ibu lagi hamil muda, saya kan enggak apa-apa, ibu yang akan terkena," terang Nila saat diskusi Forum Merdeka Barat, di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta Pusat, Minggu (18/9/2018).
"Jadi tolong dong, darurat kan bukan buat diri kita, tapi buat sekitar kita ini," ucapnya.
Banyak masyarakat enggan untuk melakukan vaksin ini karena tidak halal. Namun, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan vaksin tersebut dengan alasan kedaruratan.
Akan tetapi, masih ada sebagian dari publik yang tetap enggan melakukan vaksin tersebut karena merasa hal itu bukan sesuatu yang darurat bagi mereka.
Keengganan melakukan vaksin menyebabkan rendahnya capaian program vaksin MR ini. Hingga 17 September 2018, capaian imunisasi MR di luar Pulau Jawa hanya 49,07 persen. Padahal, targetnya adalah 83,98 persen di waktu yang sama.
Padahal, jika capaian imunisasi tinggi, akan tercipta kekebalan kelompok. Jadi, meski orang itu belum diimunisasi, kerentanannya terjangkit virus akan semakin rendah sebab sekelilingnya sudah kebal terhadap virus tersebut.
Nila mengatakan, ia tidak ingin kejadian maraknya wabah campak seperti yang terjadi di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua, kembali terulang. Data per Januari 2018, ditemukan 646 anak yang terjangkit wabah campak tersebut.
Penyebab dari mewabahnya campak pada kasus di Asmat adalah karena capaian program imunisasi yang rendah.
Oleh sebab itu, ia berharap publik dapat benar-benar memikirkan keikutsertaannya dalam program imunisasi tersebut.
"Tolong ingat pada waktu kejadian Asmat. Campak begitu banyaknya karena cakupan imunisasinya rendah, daerahnya sulit dan berapa ratus yang meninggal dari itu. Jadi, saya kira itu, kita ga boleh egois sendiri," tuturnya.
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/18/20263591/vaksin-mr-banyak-ditolak-menkes-minta-masyarakat-tak-bersikap-egois