Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar menilai, tindakan Bawaslu merupakan bentuk perlawanan terhadap peraturan perundang-undangan.
Peraturan itu adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang memuat larangan mantan napi korupsi mendaftar sebagai caleg.
"Jadi, kalau dia melawan PKPU, menurut saya itu pelanggaran hukum," kata Zainal saat dihubungi Kompas.com, Jumat (31/8/2018).
"Kalau mereka (Bawaslu dan KPU) gontok-gontokan (soal PKPU) ya bisa ke DKPP. Paling sederhana DKPP bisa menjadi penengah," ujar Zainal.
Bawaslu, lanjut Zainal, harusnya memahami bahwa aturan PKPU mengikat, baik KPU maupun Bawaslu.
Jika Bawaslu tak setuju dengan isi PKPU, bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA), bukan mengabaikan isinya.
Zainal mengatakan, hanya MA yang berwenang menggugurkan peraturan yang telah diundangkan.
"Harusnya kalau Bawaslu tidak suka aturan itu, uji materi," kata Zainal.
"Karena aturan (PKPU) itu sudah keluar. Aturan itu sudah dapat nomor, secara administrasi sudah diundangkan," lanjut dia.
Sebelumnya, Bawaslu meloloskan lima orang mantan koruptor menjadi bakal caleg 2019. Mereka berasal dari Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-Pare, Rembang, dan Bulukumba.
Pada masa pendaftaran bacaleg, lima orang mantan koruptor tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU.
Merespons keputusan KPU, kelima orang ini mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat. Hasil sengketa menyatakan ketiganya memenuhi syarat (MS).
Bawaslu meloloskan mantan napi korupsi sebagai bacaleg dengan alasan berpedoman pada UU Pemilu, bukan PKPU Nomor 20 Tahun 2018.
UU Pemilu tak melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg.
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/01/06125041/polemik-bawaslu-loloskan-eks-koruptor-dkpp-bisa-jadi-penengah