Hal tersebut terlihat dari tingginya angka kasus penyiksaan yang didokumentasikan Kontras selama periode Juni 2017 hingga Mei 2018.
“Hampir 80 kasus dilakukan oleh pihak Kepolisisan 28 oleh pihak TNI, dan 22 oleh petugas-petugas Lapas,” papar Arif saat konferensi pers 20 Tahun Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Situasi dan Penanganan Praktik Penyiksaan di Indonesia Masih Kelam”, di bilangan Jakarta Pusat, Selasa (26/5/2018).
Menurut Arif, polisi cenderung menggunakan kekerasan untuk menggali informasi atau membuat seorang terduga pelaku tindak pidana mengakui perbuatannya.
“Terkait motif ada 78 motif penyiksaan terkait mendapatkan pengakuan, sementara 52 motif lainnya bentuk hukuman,” kata dia.
Selama periode Juni 2017 hingga Mei 2017, Kontras mencatat ada 130 peristiwa penyiksaan. Sebagian besar kasus penyiksaan tersebut terjadi di ruang tahanan terhadap mereka yang ditahan, baik dalam tahapan investigasi maupun dalam tahapan menjalani hukuman.
Penyiksaan yang terjadi di ruang tahanan yakni sebanyak 64 kasus, 38 kasus di tempat publik dan 28 kasus di tempat tertutup. Tempat tertutup, jelas Arif, seperti di rumah kosong atau lapangan yang bisa diakses oleh aparat penegak hukum.
Selain itu, papar Arif, sebaran praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi terjadi di 26 provinsi di Indonesia. Kasus penyiksaan terjadi di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 18 kasus, disusul provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 17 kasus, dan Papua sebanyak 9 kasus.
“Sumatera Utara masih menempati posisi pertama dari praktek-praktek penyiksaan, kemudian disusul dengan Sulawesi Selatan terus disitu ada Papua,” papar dia.
Lebih lanjut, terkait para korban penyiksaan, tutur Arif, didominasi oleh warga sipil yang diduga menjadi pelaku tindak kriminal. Tidak jarang terjadi praktik salah tangkap.
“Terkait dengan korban kami mencatat 85 korban adalah warga sipil yang mengalami praktek-praktek penyiksaan, baik bentuk pengakuan atau penghukuman, 7 orang yang kami catat merupakan aktivis sementara 38 merupakan tahanan kriminal yang posisi yang berada di tahanan pihak Kepolisian,” ujar dia.
Sementara itu, papar Arif, terkait usia penyiksaan menyasar di segala usia.
“Usia 15 sampai dengan 25 terjadi 72 peristiwa, usia 36 sampai 35 tahun terjadi 32 peristiwa, usia 36 sampai 50 berjumlah 24 peristiwa. Rentang usia 51 sampai 60 tahun kita mencatat 2 orang korban,” papar dia.
Kebanyakan korban salah tangkap
Di sisi lain, Arif memaparkan kondisi korban praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi pada periode Juni 2017 sampai Mei 2018 terdapat 141 orang mengalami luka dan 27 orang tewas.
“Hampir 141 orang mengalami luka-luka, akibat dari praktik penyiksaan dan kondisi korban 27 meninggal dunia,” jelas dia.
Namun demikian, kata Arif, individu-individu yang ditangkap menjadi korban penyiksaan lebih banyak karena salah tangkap daripada murni kriminal.
“Sebanyak 38 kasus merupakan salah tangkap, sementara 92 murni tindak pidana kriminal,” papar Arif.
Selain itu, Arif memaparkan alat-alat dalam praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusia.
“Ada 75 kejadian menggunakan tangan kosong baik pukulan, tendangan. Kemudian 37 kasus menggunakan benda keras, 10 kasus senjata api, dan 8 menggunakan senjata tajam,” papar Arif.
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/26/18591561/kontras-sebut-pelaku-penyiksaan-masih-didominasi-aparat-kepolisian