Penanganan korupsi juga dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan sehingga perlu diatur dalam RKUHP yang sifatnya lebih umum.
"Kan korupsi bukan dominasi KPK. Kecuali kepolisian dan kejaksaan tak menangani korupsi, itu bisa tidak boleh ada di KUHP. Tapi kalau kejaksaan dan kepolisian bisa menangani korupsi itu harus ada (di KUHP)," kata Trimedya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Ia mengatakan KPK tak perlu khawatir kehilangan kewenangan dengan diaturnya penanganan korupsi di KUHP.
Trimedya menambahkan, kewenangan KPK dalam memberantas korupsi tetap eksis dengan adanya Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Nantinya, kata Trimedya, KPK tetap akan bekerja berdasarkan Undang-undang Tipikor dan KPK dalam memberantas korupsi.
"Nanti kembali kepada undang-undang organik dari instansi terkait. Kepolisian ada Undang-undang Polri. Kejaksaan ada Undang-undang Kejaksaan. Ini kan pengaturan umum kalau KUHP," lanjut dia.
Sebelumnya Pemerintah dan DPR berbeda pendapat dengan KPK dalam pembahasan R-KUHP.
Pemerintah dan DPR berpendapat pidana korupsi harus diatur dalam R-KUHP sebagai panduan umum.
Sementara itu KPK menolak pendapat tersebut karena khawatir kewenangannya dalam memberantas korupsi dipangkas oleh KUHP.
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/06/18524521/ini-alasan-komisi-iii-dpr-bersikeras-atur-pidana-korupsi-di-rkuhp