Sebab, menurutnya, presiden sendiri yang menyatakan bahwa penanganan kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan ada di tangan Polri.
"Banyak usulan tentang TGPF yang disampaikan pada KPK. Seluruh usulan tersebut mengatakan agar Presiden membentuk TGPF. Namun, seperti yang kita ketahui, dalam beberapa hari ini Presiden mengatakan penanganan masih di Polri," kata Febri, lewat keterangan tertulis, Kamis (22/2/2018).
Pihaknya sendiri, ujar Febri, sudah ada yang ditugaskan untuk menjadi penghubung dan berkoordinasi dengan Polri tentang informasi kasus penyerangan Novel. Namun, sejauh ini pelaku penyerangan tersebut belum ditemukan.
KPK menilai, pengungkapan kasus penyerang Novel adalah ujian bagi semua pihak.
"Apakah negara hadir atau tidak melawan ancaman dan teror terhadap pemberantasan korupsi? Jika tidak terungkap, tentu ini akan jadi preseden buruk bagi sejarah perang melawan korupsi," ujar Febri.
Novel, lanjut Febri, sudah seringkali menjadi objek serangan. Tak hanya kepada Novel, corruptor fight back yang diarahkan ke KPK juga muncul dalam bentuk lain.
Febri mengatakan, pemberantasan korupsi hanya akan berhasil jika ada komitmen kuat dari seluruh elemen bangsa.
Kerja penegak hukum dalam pemberantasan korupsi tanpa dukungan politik yang utuh dan tulus dinilai tidak akan mungkin bisa maksimal.
Kendati demikian, lanjut Febri, KPK bersyukur, dukungan dan komitmen itu tetap ada dari beberapa pihak, meskipun perlu terus ditingkatkan lagi.
KPK berharap, pemberantasan korupsi yang dilakukan dapat berjalan mengarah pada perang terhadap ketimpangan sosial. Sehingga ke depannya nanti bisa mendorong terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat.
"Karena itulah KPK masuk di berbagai lini yang bersentuhan dengan penerimaan negara, dan mewaspadai kebijakan dan perilaku yang koruptif yang diambil para pejabat dengan pertimbangan keuntungan diri sendiri dan kelompok," ujar Febri.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/22/11204471/soal-tgpf-novel-kpk-sebut-otoritas-ada-di-presiden