Salin Artikel

Indonesia Masih Berutang Mata Novel Baswedan

Hari ini, 22 Februari 2018, Novel Baswedan akan pulang dan langsung menuju rumah juangnya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disambut para sahabat yang mencintainya. Saya ingin pula menyambutnya, meski lewat tulisan ini semata.

Mengapa kita perlu menyambut Novel dengan suka cita? Bukan semata karena kita cinta Novel Baswedan, melainkan kita ingin merayakan semangat juang tak kenal takut dan dan integritas tak terbeli yang diteladankannya.

Novel adalah ikon perjuangan antikorupsi yang lengkap secara profesional kerja dan akhlak personalnya. Bayangkan, meskipun mata fisiknya dibutakan, Novel tetap memancarkan terang integritas melalui mata hatinya.

Setri Yasa, seorang jurnalis, hari ini membagi cerita di halaman FB-nya, bagaimana Novel yang berkurang gajinya karena sedang dalam perawatan di Singapura, harus menjual rumah kreditannya untuk sang bunda tercinta di Semarang dan menjual pula mobil keluarga satu-satunya, agar tetap dapat menafkahi hidup keluarganya.

Di tengah kesulitan ekonomi yang sedemikian nyata, integritas moral Novel tetap bersinar benderang. Jangankan yang haram, bantuan halal pun masih halus ditolaknya.

Ketika sahabat yang bersimpati menggalang bantuan dana dan dari situ terkumpul Rp 120 juta, dengan santun Novel tidak menerimanya.

Mengutip Setri, Novel berkata, “Sedekah itu hanya boleh diterima orang miskin. Dan saya tidak ingin menjadi miskin karena itu. Insya Allah saya masih mampu. Tolong sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman”.

Menitik air mata saya membacanya. Terharu akan sinar teladan yang dipancarkannya.

Mata fisiknya bisa digelapbutakan, tetapi mata hati Novel nyata-nyata masih memberikan silau antikorupsi yang tak kunjung padam. Hanya orang yang punya pribadi mulia yang bisa bertutur dengan nilai keimanan dan kemanusiaan yang sedemikian kuat dan dalam.

Kita ingin menegaskan bahwa kita akan selalu bersama Novel Baswedan, menghadapi berbagai teror para koruptor, yang tidak akan pernah berhenti melemahkan KPK dan para pejuang antikorupsinya.

Novel adalah simbol juang antikorupsi yang teguh memegang prinsip moralitas dan profesionalitas. Novel adalah ikon pemberantasan korupsi yang sederhana, tak kenal takut, dan terus konsisten dalam semangat juang untuk Indonesia yang bebas korupsi.

Pengungkapan kasus Novel Baswedan karenanya adalah pertaruhan ke-sekian kita bahwa keadilan itu masih ada di bumi pertiwi dan layak diperjuangkan. Bahwa harapan pemberantasan korupsi tidak akan pernah hilang karena kalah dengan teror biadab para koruptor.

Sejarah hitam negeri ini mencatat tidak sedikit pejuang HAM dan antikorupsi yang diteror—bahkan dibunuh—dan pelaku utamanya tetap bebas melenggang merdeka.

Tulisan ini bisa menjadi daftar panjang kasus peti es serupa itu. Beberapa di antaranya ada di zaman otoritarian Orde Baru, tetapi— sayangnya—terus berlanjut ke era reformasi, yang seharusnya mengharamkan impunitas.

  • Aktivis buruh Marsinah dibunuh dengan penyiksaan berat dan mayatnya ditemukan di hutan pada 8 Mei 1993. Nyaris seperempat abad kemudian pembunuhnya tidak pernah terungkap.
  • Fuad Muhammad Syafrudin adalah wartawan harian Bernas di Yogyakarta yang kritis menuliskan isu antikorupsi sebelum dianiaya oleh orang tidak dikenal dan akhirnya meninggal dunia pada 16 Agustus 1996. Lebih dari dua dekade kemudian, pelaku pembunuhannya masih melenggang tanpa pertanggungjawaban.
  • Pejuang HAM Munir Said Thalib dibunuh secara kejam dengan racun arsenik saat akan hijrah menuntut ilmu di Belanda. Telah lewat 13 tahun, sejak 7 September 2004, saat pesawat Garuda GA-974 mendarat di Amsterdam, dan yang turun adalah jasad Munir yang telah tak bernyawa. Hingga kini pelaku utamanya masih bebas dan terus eksis tanpa sentuhan hukum secuil pun.
  • Pada 8 Juli 2010, aktivis antikorupsi ICW Tama S Langkun dianiaya dengan sabetan senjata tajam. Hampir delapan tahun kemudian, jangankan pelakunya terungkap, berita kasusnya pun tidak pernah lagi ada.


The untouchable

Catatan kelam penganiayaan dan pembunuhan aktivis HAM dan antikorupsi mestinya lebih panjang lagi. Tidak sedikit terjadi tanpa advokasi dan pemberitaan yang memadai, sehingga lenyap tenggelam ditelan lebatnya hutan belantara, dalamnya samudera, serta tebalnya tembok tebal benteng pertahanan para pelaku yang menorehkan prestasi negatif sebagai penjahat tak tersentuh hukum—the untouchables.

Melihat panjangnya daftar tragedi hukum yang lumpuh berhadapan dengan para untouchables, kita akan mudah untuk menyerah, termasuk dalam mendesakkan tuntasnya kasus Novel Baswedan.

Waktu yang terus bergulir adalah salah satu pembunuh semangat yang efektif dan mudah melenakan kita untuk melupakan keadilan yang masih absen dalam kasus Novel.

Namun, kita tidak boleh kalah! Saya yakin, secara teknis investigasi, kasus Novel Baswedan bukan kasus yang sulit untuk diungkap tuntas. Ini kasus mudah.

Dalam banyak kasus serupa, bahkan lebih rumit sekali pun, polisi kita sudah terbukti mumpuni untuk mengungkapnya secara cepat dan tuntas.

Jika sekarang tidak kunjung selesai, maka sebagaimana kasus Marsinah, Udin, Munir, Tama, dan kasus serupa lainnya, persoalannya bukan pada soal teknis hukum melainkan pada keberanian untuk melawan dan memenjarakan the untouchables.

Ada film The Untouchables yang dirilis pada 1987 dan dibintangi Kevin Costner, Andy Garcia, Robert De Niro, dan Sean Connery. Film itu diangkat dari kisah nyata seorang pimpinan mafia di Chicago yang bernama Al Capone.

Kejahatannya sangat masif, mencakup semua kejahatan berat pada masa awal abad ke-20, seperti prostitusi, penyelundupan manusia, penyuapan penegak hukum, dan penggelapan pajak. Pembunuhan juga merupakan modus yang dilakukannya untuk menyingkirkan para musuh dan saingan bisnisnya.

Namun, selicin apa pun sang belut mafioso berusaha terlepas dari jeratan hukum, pada akhirnya sang pemimpin gangster bertekuk lutut dan dipenjarakan dengan penjagaan superketat di Al Catraz.

Adalah tim khusus penegak hukum yang dipimpin Eliot Ness yang berhasil membekuknya. Oleh karena itu, dalam film ini, yang dijuluki tak tersentuh bukanlah Al Capone, tetapi sebaliknya Eliot Ness dan timnya yang menjelma sebagai the untouchables.

Pesan moral dari film yang diilhami kisah nyata tersebut, sebenarnya tidak ada orang yang tidak bisa disentuh hukum, siapa pun orangnya, apa pun kekuatannya.

Dalam kasus sejenis, bukanlah teknis investigasi hukum yang rumit, melainkan bertahan dari serangan intervensi kuasa dan dana yang menyebabkan kasusnya menjadi sulit.

Karena itu, untuk mengungkap kasus Novel, perlu dibentuk dan dilindungi otoritas penegak hukum yang sejatinya tak tersentuh, tak terbeli, the untouchables. Penegak hukum yang komplet, tidak hanya berani tetapi juga jujur dan berintegritas sekokoh cadas karang, yang tak lekang dihantam derasnya ombak samudera.

Polisi kita seharusnya mampu melakukan peran itu. Namun, tembok tebal yang mengadangnya membuktikan Presiden Jokowi tidak cukup hanya meminta laporan dan terus-menerus menunggu.

Presiden wajib menggunakan kuasanya untuk membantu Polri. Di situlah urgensi perlunya kebijakan pembentukan tim independen kepresidenan untuk membantu polisi mengungkap tuntas kasus Novel Baswedan.

Kita semua, apalagi Presiden Joko Widodo, berutang mata kepada Novel Baswedan agar kasusnya terungkap tuntas. Ini bukan demi diri Novel semata. Bukan juga demi mata fisik Novel saja. Ini justru adalah perjuangan kita untuk melawan setiap upaya teror koruptor yang menutup mata hati kita.

Novel secara pribadi sudah mendekati khatam sebagai pejuang antikorupsi. Meskipun ia tentu gundah, saya yakin Novel sudah cukup ikhlas, bahkan mungkin memaafkan pelaku lapangan terornya.

Novel pun tidak pernah surut takut. Karena—sebagaimana kutipannya yang terkenal—, berani tidak memanjangkan umur, sebagaimana takut tidak memperpendek usia.

Yang lebih memerlukan terungkapnya kasus ini bukan Novel Baswedan pribadi, melainkan kita semua sebagai Indonesia. Kita yang justru berutang mata kepada Novel dan pada perjuangan antikorupsi untuk secara serius dan maksimal mengungkap pelaku utama teror air keras pada Novel.

Sebagai utang, ini adalah tanggung jawab kita untuk membayar lunas pengorbanan Novel yang telah menyerahkan seluruh dedikasi dan perjuangan hidupnya bagi kerja-kerja antikorupsi.

Tentu, tidak berlebihan jika upaya pelunasan utang mata kita kepada Novel ini dipimpin langsung oleh kepala negara, Presiden Jokowi.

Meskipun, membentuk tim independen kepresidenan bukanlah jaminan pelaku teror akan terungkap, karena tim yang sama dengan keterbatasan kewenangan pada  akhirnya tidak mampu mendorong terjeratnya pelaku utama pembunuhan Munir.

Karena itu, tim independen tetap harus mempunyai kewenangan projustitia, tetap terdiri dari penegak hukum gabungan polisi dan KPK yang integritasnya tak terbeli, ditambah tokoh masyarakat yang diposisikan sebagai penasihat—yang masukannya mengikat langkah dan strategi investigasi.

Novel Baswedan akan pulang dari Singapura ke Indonesia, ke KPK, ke rumah antikorupsi kita. Sebagai sahabat dan rumah juangnya, Indonesia tentu tidak boleh mengkhianatinya.

Utang mata fisik novel harus kita bayar lunas dengan membuka mata hati kita untuk terus berjuang tanpa takut, tanpa henti. Sampai pelaku utama teror air keras Novel terungkap dan dipenjara, utang kita belum pernah lunas.

Presiden Jokowi wajib mencicil utang mata hati ini dengan langkah nyata membantu Polri melalui pembentukan tim independen kepresidenan yang diproteksi dan dijamin efektivitas kerjanya.

Kepada Novel Baswedan kita berutang mata fisik dan mata jiwa antikorupsi. Kita Indonesia, tidak boleh mengemplang pembayarannya.

Pilihan Indonesia hanya satu. Indonesia harus lunas membayarnya. Berapa pun harganya, bagaimana pun tantangannya, dan apa pun risikonya.

https://nasional.kompas.com/read/2018/02/22/10065251/indonesia-masih-berutang-mata-novel-baswedan

Terkini Lainnya

Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Nasional
KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

Nasional
Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke