Dengan putusan ini, maka Pasal 222 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold tersebut tetap berlaku.
Hanya partai atau gabungan partai dalam pemilu DPR lima tahun sebelumnya yang dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden, dengan jumlah kursi DPR minimum 20 persen atau perolehan suara sah secara nasional minimum 25 persen.
"Saya berpendapat bahwa Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan Presiden yang tetap dipertahankan oleh MK itu sebagai sesuatu yang tidak sejalan dengan spirit konstitusi kita," kata Yusril melalui keterangan tertulisnya, Jumat (12/1/2018).
Meski kecewa dengan MK, pakar hukum tata negara ini mengakui, putusan itu berlaku final dan mengikat.
Ruang berdebat mengenai presidential threshold kini berpindah menjadi wacana akademis saja. Secara hukum, masalah itu sudah selesai dan final.
"Orang-orangnya seperti saya, sudah biasa mengalami kekalahan berhadapan dengan pemegang otoritas, termasuk pula para hakim MK," kata Yusril, yang menjadi salah satu pemohon uji materi pasal 222 UU Pemilu.
Namun, Yusril menegaskan, idealisme tetaplah harus ada dan terus diperjuangkan. Walau suatu ketika ia bisa kalah atau dikalahkan, namun kehidupan manusia dan peradaban akan terus berlanjut.
"Biarlah sejarah yang menjawabnya dengan suatu harapan, generasi yang akan datang akan membaca data dan dokumen masa sekarang yang merekam semua perdebatan itu dan nanti akan menilainya dengan penuh kejujuran terhadap data sejarah yang kita tinggalkan," ucap Yusril.
https://nasional.kompas.com/read/2018/01/12/10353081/yusril-putusan-mk-soal-presidential-threshold-tak-sejalan-dengan-spirit