Pasalnya, korps Bhayangkara ini menjadi aktor utama di balik tindak kekerasan dan penangkapan yang dialami oleh rakyat.
"Polisi masih menempati posisi tertinggi dalam jumlah pelaku kekerasan dalam konflik agraria," kata Dewi dalam diskusi Catatan Akhir Tahun 2017 KPA, di Jakarta, Rabu (27/12/2017).
Dari 659 konflik yang terjadi sepanjang 2017, polisi melakukan 21 kali tindak kekerasan maupun penangkapan tanpa prosedural kepada masyarakat yang mencoba bertahan di tanah mereka.
Dewi menuturkan, KPA pernah menemui Kapolri pada tahun 2013, agar mereka tidak menggunakan pendekatan kekerasan dalam konflik agraria. Namun, hingga sekarang komunikasi itu terhenti.
Menurut Dewi, sejauh ini tidak ada upaya dari kepolisian sendiri untuk memahami isu agraria. Sehingga mereka mudah digiring ke dalam konflik agraria.
"Mereka harusnya memahami proses prosedural pengadaan tanah. Siapa yang sebenarnya melanggar prosedur. Mereka justru mudah digiring untuk melindungi proyek tersebut," jelas Dewi.
Di sisi lain, label bahwa masyarakat yang mempertahankan tanahnya adalah kelompok yang anti-pembangunan, terus disematkan pada masyarakat.
Dewi mengatakan, seharusnya tidak ada label seperti itu, asalkan pengadaan tanah dilakukan secara prosedural.
Lebih lanjut Dewi menuturkan, misalnya yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat yaitu mengenai ganti rugi.
Ganti rugi sesuai peraturan perundang-undangan sesungguhnya tidak hanya berupa uang atau relokasi permukiman.
Pasal 36 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyebutkan pemberian ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Setelah polisi, pelaku kekerasan terbanyak dalam konflik agraria selanjutnya yaitu preman (15 kasus) dan TNI (11 kasus).
"Polisi ini memang mesin yang paling mudah digunakan oleh pemerintah di daerah untuk mengamankan proyek," pungkasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/27/14443291/kpa-polisi-pelaku-kekerasan-terbanyak-dalam-konflik-agraria