Salin Artikel

Perangkap Pasca-demokrasi

Kendati demikian, banyak indikasi yang dikatakan Colin Crouch sebenarnya eksis dalam realitas perdemokrasian, termasuk di Indonesia. Dengan indikasi teknis yang hampir sama, kemudian di daratan Amerika, Larry Diamond juga akhirnya menyimpulkan bahwa telah terjadi resesi demokrasi di negara-negara yang awalnya sempat terkena sapuan gelombang ketiga demokrasi versi Samuel P Huntington.

Dalam tulisannya di Journal of Democracy, Facing Up to Democratic Reccesion, Januari 2015, Diamond mengungkapkan bahwa sejak 2006, sebagian negara yang terkena gelombang demokratisasi versi Samuel P Huntington mulai memperlihatkan angka freedom score yang memburuk.

Sekitar tahun 2006, perluasan kebebasan dan semangat berdemokrasi di dunia terhenti. Tidak ada perluasan signifikan dari jumlah negara yang menganut demokrasi elektoral. Angkanya hanya bergerak tipis pada kisaran 114 dan 119 negara atau sekitar 60 persen dari negara-negara di dunia.

Bahkan berdasarkan data yang diungkapkan oleh Diamond, jumlah negara yang mengadakan pemilihan secara demokratis (demokrasi liberal) mulai menurun dan pelan-pelan stagnan.

Diamond menulis, "Sejak tahun 2000, saya menghitung 25 kerusakan demokrasi di dunia, tidak hanya melalui kudeta militer atau eksekutif yang terang-terangan mendominasi segala lini, tapi juga melalui degradasi hak-hak demokrasi yang ekstrem dan bertahap. Beberapa dari kerusakan tersebut terjadi pada negara-negara yang menjalankan demokrasi dalam kualitas rendah. Hampir dalam setiap kasus terlihat kualitas kompetisi dari pemilihan multipartai cenderung terdegradasi ke bawah standar minimal demokrasi."

Dalam konteks dan perspektif yang sedikit berbeda, pendapat Diamond diamini oleh Francis Fukuyama dalam karya penghormatannya terhadap Samuel Huntington, yakni Political Decay dan Political Order (judul ini juga digunakan oleh Huntington pada tahun 1960-an).

Indikasi yang disampaikan Colin, diselidiki oleh Diamond, dan diamini oleh Francis Fukuyama adalah bahwa kehidupan demokrasi dalam sebuah negara pada akhirnya hanya perkara prosedural, itu pun kian melemah kualitasnya.

Pemilu dijalankan, lembaga demokrasi dilengkapi, media diberi ruang bebas, dan lain-lain, tetapi keberpihakan keputusan publik tetap mutlak terletak di tangan-tangan oligarki ekonomi politik, alias di tangan-tangan beberapa orang saja.
 
Diamond dan Frank (panggilan akrab Francis Fukuyama) menyebutnya pratrimonialisme politik dan patron-clientalisme. Adapun Colin Crouch menyebutnya neo-aristocratic system.

Persamaan pandangan dari ketiga tokoh tersebut adalah bahwa demokrasi pada akhirnya hanya perkara seremoni di satu sisi, gegayaan, sok demokratis, biar trendy secara politik, dan ikut- ikut tren global.

Namun di sisi lain, kenyataannya hanya digunakan oleh oligar-oligar untuk membangun impresi bahwa di satu sisi daerah kekuasaannya layak dianggap demokratis, sementara kepentingan mereka di sisi lain terselamatkan.

Di ranah yang lain, ranah pengambil keputusan, ternyata demokrasi sudah selesai saat para pemilih pulang dari bilik suara, lalu kembali berjibaku dengan kehidupan masing-masing.

Kedaulatan dianggap sudah berpindah, bertransformasi menjadi kekuasaan dan wewenang yang kemudian dimonopoli oleh beberapa oligar saja. Lama kelamaan, hal yang demikian kemudian melahirkan tatanan masyarakat yang juga bersifat postdemocratic.

Masyarakat menikmati hak pilih, menikmati kebebasan media, menonton kegilaan-kegilaan wakil-wakil rakyat dengan bebas, menggunjingkan kepala-kepala daerah yang korup yang telah mereka pilih, lalu menertawakannya. Namun, saat tahun politik datang, pemilih mencoblos lagi, as usual.


Demokrasi pada akhirnya diperlakukan sebagai seremoni secara bersama-sama (massive), bak pesta kemerdekaan tujuh belasan yang hanya sekali setahun, misalnya. Dengan kata lain, tatanan demokrasi pelan-pelan dijangkiti budaya patrimonialistik.

Menurut Francis Fukuyama dalam bukunya Political Order and Political Decay: from Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (2014), terdapat penyakit akut terkait dengan pembangunan politik di banyak negara yang sedang membangun (developing countries).

Permasalahannya terletak pada peran negara yang lemah dan cenderung tak efektif. Para elite penguasa lebih lihai menampilkan kekuasaan despotik, suatu kemampuan untuk melakukan tekanan kepada pihak lawan seperti jurnalis, politisi oposan, dan kelompok-kelompok pesaing.

Akan tetapi, mereka tidak memiliki kekuatan dalam aspek kekuasaan infrastruktural, yaitu kemampuan untuk menghadirkan penguatan hukum yang adil dan penyediaan barang-barang publik seperti keselamatan, kesehatan, dan pendidikan.

Kondisi yang demikian jamak dengan irama postdemocracy besutan Colin Crouch. Begini jabaran beliau, "a post-democratic society is one that continues to have and to use all the institutions of democracy, but in which they increasingly become a formal shell. The energy and innovative drive pass away from the democratic arena and into small circles of a politico-economic elite."

Perkembangannya secara teknis-empiris, terutama untuk Indonesia, demokrasi menjadi semacam standar minimal saja.

Sementara itu, di sisi lain dinasti politik, pelibatan sanak famili ke dalam panggung politik, maraknya politik balas budi, politik harga pertemanan, justru tetap mekar semringah di mana pada akhirnya kerentanan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme juga kian terpupuk dan meningkat.

Dengan kata lain, demokrasi diperlakukan semata sebagai instrumen teknis yang tidak terkait dengan tujuan yang lebih tinggi, seperti pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan, keadilan sosial, dan perhargaan kepada kemanusiaan serta hak-hak sosial ekonomi yang melekat.

Saya kira, kita memang perlu melakukan refleksi mendalam tentang sikap kita terhadap demokrasi yang sedang kita nikmati saat ini.

Kelengahan publik, terutama dari kalangan intelektul dan masyarakat sipil, bisa saja secara tak sadar memarkir demokrasi Indonesia di tempat yang tidak semestinya.

Bukan hanya itu, segmentasi konflik yang kian captive tanpa manajemen perbedaan yang mumpuni akibat kontestasi-kontestasi yang kurang sehat juga bisa membawa kita kepada demokrasi dengan ruang interpretasi yang sangat sempit, yaitu demokrasi versi masing-masing, demokrasi yang sejalan dengan keberlanjutan kepentingan dan kebahagiaan sendiri-sendiri. Dan, kemudian dijadikan bahan racikan oleh aktor-aktor elite untuk terbebas dari tugas mulia mereka sebagai petinggi-petinggi negeri. Semoga tak demikian.

https://nasional.kompas.com/read/2017/12/13/08244221/perangkap-pasca-demokrasi

Terkini Lainnya

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Nasional
Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Nasional
Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Nasional
Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Nasional
Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Nasional
PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

Nasional
PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

Nasional
Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Nasional
Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Nasional
Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke