Salin Artikel

Pemenuhan Hak Penghayat Kepercayaan, Menghidupkan Keberagaman...

Tekadnya yang kuat membuat Carles berusaha keras mewujudkan angannya itu.

Kata guru di sekolahnya, nilai seluruh mata pelajaran Carles tidak buruk. Badannya yang tegap dan kebiasaan berdisiplin di rumah maupun sekolah bisa menjadi modal Carles untuk mengikuti jejak sang kakek yang berprofesi sebagai polisi.

Namun, ada satu hal yang dapat menggagalkan langkah remaja Batak itu meraih cita-citanya, yakni status Carles sebagai penganut Ugamo Malim atau seorang Parmalim.

Kisah Carles dalam film dokumenter "Ahu Parmalim" karya Cicilia Maharani dari Yayasan Kampung Halaman, mungkin juga dialami oleh ribuan remaja penghayat kepercayaan di Indonesia.

Bertahun-tahun berjuang untuk diakui sebagai warga negara, akhirnya membuahkan hasil setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 terkait ketentuan pengisian kolom agama di Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga bagi warga penghayat kepercayaan.

Sebelumnya, kolom agama pada KTP dan KK warga penghayat kepercayaan tidak diisi atau dikosongkan.

Perbedaan ketentuan pengisian kolom agama tersebut menimbulkan diskriminasi terhadap warga penghayat dalam memenuhi hak dasar sebagai warga negara, salah satunya dalam mendapatkan pekerjaan.

Tidak sedikit warga penghayat yang tidak bisa mendaftar sebagai PNS dan anggota TNI-Polri karena kosongnya kolom agama di KTP mereka.

Atau, alasan lain, kepercayaan yang mereka anut tidak termasuk dalam enam agama yang diakui oleh negara.

Oleh karena itu, MK memutuskan kata "agama" dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Akademisi Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menegaskan, dengan adanya keputusan MK tersebut, maka negara harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar warga penghayat kepercayaan.

Pasalnya, implementasi putusan MK di tingkat daerah belum tentu sama dengan di tingkat pusat.

"Yang paling penting adalah tindak lanjut dari putusan MK itu. Seringkali pembuat regulasi membuat peraturan yang bertentangan dengan putusan MK," ujar Bivitri dalam sebuah diskusi bertajuk 'Putusan MK Tentang Penghayat, Babak Baru Toleransi', di Lounge STHI Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (28/11/2017).

Menurut Bivitri, pemerintah harus mengomunikasikan pemenuhan hak warga penghayat kepercayaan dalam konteks pelayanan publik di seluruh tingkat, dari pusat hingga ke daerah, dalam konteks pelayanan publik.

Institusi pemerintahan seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, institusi Polri dan pengadilan, kata Bivitri, wajib memahami putusan MK tersebut.

Ia mencontohkan sebuah tindakan diskriminatif yang dialami oleh seorang warga penghayat Sunda Wiwitan saat berurusan di pengadilan.

Hakim yang memimpin sidang tidak mengambil sumpah lebih dulu saat warga penghayat itu hendak memberikan kesaksian dengan alasan kepercayaannya tidak termasuk dalam enam agama yang diakui oleh negara.

Padahal, pengambilan sumpah menjadi salah satu unsur agar sebuah kesaksian di pengadilan bisa dianggap sah.

"Putusan MK ini baik dan harus terus digaungkan soal hak-hak warga penghayat,"  kata Bivitri.

Menghidupkan keberagaman

Berdasarkan data Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat 187 kelompok penghayat kepercayaan yang terdata oleh pemerintah.

Sementara, jumlah warga penghayat Ugamo Malim diperkirakan sekitar 5.555 orang yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.

Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mina Susana Setra menilai, tindakan diskriminasi hak yang dialami oleh ribuan warga penghayat kepercayaan selama ini merupakan bentuk dari pengabaian nilai keberagaman.

Padahal, hak dasar warga penghayat kepercayaan sendiri telah diakui dalam Deklarasi PBB Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat tahun 1994 dan konstitusi negara.

"Selama ini sebenarnya kita mengabaikan soal keberagaman karena mengabaikan hak warga penghayat kepercayaan," ucap Mina saat diskusi.

Mina mengatakan, jika dilihat lebih dekat, kepercayaan adat atau agama leluhur mengandung beragam nilai-nilai kehidupan sebagai aset kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Agama-agama leluhur, kata Mina, umumnya tidak hanya bicara tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, tapi juga mengenai hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

Dikutip dari buku 'Menagih Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa' karya peneliti Setara Institute, Sudarto, kepercayaan seperti Ugamo Bangso Batak, Ugamo Malim, dan Komunitas Samin memiliki ajaran yang mewajibkan penganutnya untuk hidup selaras dengan alam.

Dalam ajaran Ugamo Bangso Batak, misalnya, terdapat ajaran tentang manfaat alam bagi kehidupan manusia dan ketentuan menjaga kelestarian lingkungan. 

Demikian pula di Komunitas Samin yang mengajarkan tentang keutuhan kehidupan antara pengetahuan kebudayaan dan lingkungan.

"Kalau negara mau melihat betapa kayanya keberagaman nilai dari agama-agama leluhur. Tidak hanya bicara tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, tapi juga dengan alam. Dan keberagaman seperti itu seharusnya dihargai," kata Mina.

https://nasional.kompas.com/read/2017/11/29/06042481/pemenuhan-hak-penghayat-kepercayaan-menghidupkan-keberagaman

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke