Pada laman website LPSE Kabupaten Batubara, tercantum dua proyek terkait kasus suap ini, yaitu pembangunan Jembatan Sentang dan pembangunan Jembatan Sei Magung.
LPSE adalah penyelenggara sistem elektronik pengadaan barang atau jasa pemerintah.
Lalu mengapa masih terjadi suap?
Baca: Kronologi Operasi Tangkap Tangan Bupati Batubara oleh KPK
Basaria mengatakan, secanggih apapun teknologi yang digunakan, yang mengendalikan tetap manusia.
"Kenapa terjadi suap, ya secanggih apapun alat itu, tapi yang kendalikan adalah manusia juga," kata Basaria, dalam jumpa pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (14/9/2017).
Dalam kasus Bupati Batubara, lanjut Basaria, dari pemeriksaan sementara, perusahaan yang digunakan tersangka Maringan Situmorang diduga tidak milik kontraktor tersebut.
Maringan diduga menyewa atau meminjam beberapa nama perusahaan, yang kemudian diatur sedemikian rupa sehingga ketika ikut pengadaan, pemenangnya tetap perusahaan yang digunakan Maringan.
"Jadi pinjam nama ada beberapa PT, diatur sedemikan rupa, sehingga nanti pemenangnya tetap saja menjadi MAS. Itu kira-kira modus yang sering mereka lakukan. Dan hal ini memang sering terjadi di mana-mana, bukan di Batubara ini saja," ujar Basaria.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, hampir setiap pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui mekanisme e-procurement.
LPSE sendiri mengoperasikan sistem e-procurement bernama Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE).
Alex meyakini, 80 persen perkara korupsi di daerah itu menyangkut pengadaan barang dan jasa, semuanya lewat e-procurement.
"Kenapa masih terjadi, sistem sebagus apapun, tapi kalau ada kolusi, pasti akan terjadi juga," ujar Alex.
Selain kongkalikong antara penyedia barang dan jasa dengan panitia lelang, ada juga persekongkolan antar-sesama pengusaha.
"Ketika itu terjadi, sistem itu enggak jalan. Jadi dokumen lelang di-upload, mungkin dengan komputer yang sama, jadi seolah-olah peserta banyak. Bahkan mungkin di luar dia sudah mengatur nanti yang pemenang proyeknya saya. Kamu nanti proyek yang lain," ujar Alex.
"Itu sudah diatur secara eksternal oleh panitia barang dan jasa. Akan dipermudah kolusi itu apabila bekerja sama dengan orang dalam," tambah Alex.
Apalagi, jika sudah ada kesepakatan sebelumnya terkait dengan pemberian fee kepada kepala daerah.
"Kepala daerah tinggal memerintahkan kepala dinas, kamu atur, nanti yang menang proyek ini si A, proyek ini B," ujar Alex.
"Sistem itu hanya masalah teknis. Kejadian dalam korupsi barang dan jasa, saya kira modusnya hampir sama," lanjut dia.
Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengerjaan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Batubara tahun 2017.
Selain Bupati, empat pihak lain yang juga menjadi tersangka yakni Kadis Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Helman Herdady, seorang pemilik dealer mobil Sujendi Tarsono alias Ayen, dua orang kontraktor bernama Maringan Situmorang dan Syaiful Azhar.
Bupati OK Arya diduga menerima suap Rp 4,4 miliar terkait proyek tersebut. Suap itu diberikan dua orang kontraktor bernama Maringan Situmorang dan Syaiful Azhar.
Dari Maringan, OK Arya menerima Rp 4 miliar, yang merupakan pemberian fee terkait dua proyek.
Proyek tersebut yakni pembangunan Jembatan Sentang senilai Rp 32 miliar yang dimenangkan oleh PT GMU dan proyek pembangunan Jembatan Sei Magung senilai Rp 12 miliar yang dimenangkan PT T.
Sementara, Rp 400 juta sisanya merupakan fee yang diperoleh OK Arya dari Syaiful terkait dengan proyek betonisasi jalan Kecamatan Talawi senilai Rp 3,2 miliar.
Uang suap dari tiga proyek tadi tidak disimpan sendiri oleh Bupati OK Arya dan diduga diterima lewat dua pintu. Dia menitipkannya kepada Sujendi Tarsono alias Ayen, seorang pemilik dealer mobil dan Kadis Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Helman Herdady.
Dalam kasus ini, sebagai pihak yang diduga penerima, OK Arya, Sujendi, dan Helman disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 KUHP.
Sementara sebagai pihak yang diduga pemberi, Maringan dan Syaiful disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayar (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/14/22215851/pelaksanaan-proyek-di-batubara-sudah-e-procurement-mengapa-masih-ada-suap