Salin Artikel

Sepalsu Apakah Hidup Kita?

Kesadaran itu setidaknya menyentak saya saat mendapati keluarga, kerabat, dan beberapa tetangga yang anaknya menjadi korban vaksin palsu.

Belum selesai penanganan para balita korban vaksin palsu ini oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait, kepalsuan lain muncul.

Di Padalarang, Bandung Barat, Jawa Barat beredar kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) palsu. JKN di masyarakat lebih populer disebut BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Ada 810 keluarga menjadi korban BPJS palsu ini.

Dua kepalsuan paling aktual ini terjadi di sektor kesehatan dan berdampak serius. Korbannya adalah saudara-saudara kita yang dalam ketidaktahuannya dimanfaatkan para pemalsu untuk mendapatkan keuntungan. 

Namun, jika kita mau lebih jeli dan mau jujur mengakui, kepalsuan tidak hanya terjadi di sektor kesehatan saja. Hampir di semua sektor, kita jumpai kepalsuan-kepalsuan itu.

Bahkan, secara sadar, kita kerap memburu dan menggunakan kepalsuan-kepalsuan itu untuk kepentingan dan keuntungan kita sendiri. 

Tidak usah jauh-jauh melihat sektor apa saja atau orang lain. Hal-hal yang melekat di tubuh kita barangkali juga merupakan hal-hal palsu. Ada rambut palsu, bulu mata palsu, kuku palsu, pakaian palsu, sepatu palsu, tas palsu atau emas palsu sebagai hal-hal yang membentuk citra diri kita.

Untuk kepalsuan yang menopang citra diri kita ini bahkan ada tingkatannya. Dengan terbuka para pedagang yang menemukan banyak pembeli ini menggunakan istilah "KW" mulai dari KW super, KW 1, hingga KW sembilan mungkin.

Malaikat penolong

Berbeda dengan vaksin palsu dan kartu BPJS palsu yang mencelakakan, barang-barang palsu yang membentuk citra diri itu tidak mencelakakan diri. Di banyak kesempatan, kepalsuan itu hadir seperti malaikat penolong.

Kehadiran barang palsu sebagai malaikat penolong bukan saja bagi mereka yang tidak bisa memiliki atau membeli barang-barang asli. Kehadiran barang palsu itu kerap jadi penolong juga bagi mereka yang bisa memiliki atau bisa membeli barang-barang asli bahkan beberapa barang sekaligus. 

Untuk barang palsu yang kerap jadi malaikat penolong orang-orang yang menjaga citra dirinya secara berlebih itu, saya selalu teringat cerita Samuel Mulia yang terbit di Harian Kompas beberapa tahun lalu.

"Thanks God it's fake!" ujar seorang tente yang baru saja dijambret tasnya saat liburan di Eropa. Meski merasa kesal, perempuan itu bersyukur karena tas Louis Vuitton-nya palsu.

Karena tas yang hilang adalah barang palsu, perasaan kehilangan dan rasa bersalah tidak sampai mengganggu si tante selama berhari-hari. Kepalanya tidak perlu pusing beberapa keliling.

"Coba kalau tas yang hilang itu asli, wah si om (maksudnya suaminya) pasti mencak-mencak (marah-marah). Duit hilang, paspor hilang, tas seharga sekian puluh juta juga hilang," ujar si tante.

Bisa kita bayangkan bagaimana semringahnya wajah si tante saat ceriwis bercerita mengenai malaikat penolongnya berupa tas palsu.

Si tante bisa bergaya dan membangun citra diri dengan mengelabui ribuan pasang mata di Tanah Air hingga Eropa dengan tas palsunya. Saat tas itu hilang, si tante masih bisa spontan ingat Tuhan dengan bersyukur atau merasa lebih beruntung. Untung saja tas itu palsu!

Kenapa kita permisif

Setelah melihat kepalsuan yang melekat dalam diri kita, mari kita tengok kepalsuan-kepalsuan lain yang juga dekat dan terbukti membawa manfaat cepat. Karena membawa manfaat cepat, kepalsuan-kepalsuan itu diupayakan bahkan direkayasa secara sistematis untuk hasil yang terukur.

Untuk menyebut salah satunya, politik adalah medan terbuka untuk rekayasa kepalsuan-kepalsuan ini. Citra diri yang hendak diraih dibangun dengan sejumlah rekayasa dan ini dibenarkan juga.

Untuk citra diri "bersih" misalnya, foto diri dioperasi dengan Photoshop sedemikian rupa sehingga kerap orang kecewa saat melihat wajah aslinya.

Tidak hanya itu. Dahulu, menjelang pemilihan umum, semua foto politisi yang dipaku di pohon-pohon hampir seragam lantaran peci hitam yang dikenakan. Citra diri nasionalis hendak diraih meskipun dalam keseharian, peci hitam itu nyaris tidak pernah mereka kenakan.

Ketika kampanye, kepalsuan itu termasuk janji-janji yang menyertainya tidak dipersoalkan. Setelah politisi terpilih, kepalsuan itu terkuak dengan sendirinya dan kemudian dipertanyakan.

Janji-janji selama kampanye yang tidak terwujud setelah jabatan dipegang kerap disebut sebagai janji-janji palsu.

Untuk banyaknya janji-janji palsu politisi ini, kita semakin hari seperti semakin tidak terganggu. Pemakluman seperti tidak pernah kekurangan energi.

Mendapati kepalsuan-kepalsuan ini, kita makin hari makin permisif. Kenapa ini bisa terjadi?

Pertannyaan ini salah satunya bisa dijawab dengan pertanyaan ke diri kita sendiri. Sepalsu apakah hidup kita?

Mari kita meneliti dan jujur mengakui ketika mendapati.

https://nasional.kompas.com/read/2016/07/26/14415951/sepalsu-apakah-hidup-kita

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke