Jika dihitung dari Oktober 2016, setengah tahun lebih energi komunikasi massa masyarakat Indonesia umumnya--dan mungkin Jawa Barat--terkungkung dalam sengkarut kebenaran dan pembenaran.
Energi "tak terlihat", yakni benci dan atau cinta berlebihan cenderung buta, membuat gaduh ruang publik ketika respons kerap muncul dari komunikator dan komunikan yang tak saling mengenal--terutama di ranah dunia maya yang memang berkarakter dasar anonim.
Tak pelak, noise komunikasi bermuatan oktan-aura benci dan cinta akut bermunculan, hingga kemudian malah kerap melupakan jati diri karakter komunikan maupun pola komunikasi yang sebelumnya dimiliki. Fragmentasi terjadi karena jati diri diingkari secara kolegial.
Ada sebuah kebanggaan bagi penulis yang tinggal di Bandung dan berdarah Sunda, manakala level "kegilaan" tersebut tak menjalar hebat di Kota Kembang khususnya dan Jawa Barat umumnya, bahkan cenderung tak terpengaruh secara massif dan sistemik.
Benarkah? Izinkan penulis menyodorkan pengalaman pribadi yang cukup menggambarkan fakta di lapangan tentang pengalaman akulturasi harmonis yang hangat, teguh, dan tak lupa jati diri sebagai urang Sunda.
Pengalaman tersebut dituangkan dalam secangkir kopi, terutama di banyak tempat yang jadi persemaian akulturasi dan pertemuan antaretnis, ras, suku, agama, bahkan mungkin mahzab yang berbeda. Kita sebut saja mediumnya: (Kedai) Kopi Purnama di Jalan Alkateri, Kota Bandung.
Kedai yang berdiri sejak tahun 1930-an ini sudah sah menjadi artefak harmonisasi lintas budaya di Bandung karena sepanas apa pun kejadian di luar--seperti Pilkada Jakarta kemarin itu--tak berpengaruh. Adem ayem.
Muslim, Kristiani, Konghucu, hingga Sunda, Tionghoa, Batak, dan lainnya tetap setia mendatangi tempat ini sejak buka rerata jam tujuh pagi hingga sembilan malam demi memburu kopi blend arabika dan robusta medan dengan metode traditional pour (jala penyaring).
Tak ada boikot, apalagi stigma, malah lebih kental dirasakan penulis adalah keinginan makin saling menghormati dan berbagi dari cara paling sederhana. Misalnya berbagi kursi dan meja sesama pengunjung--yang sama anomim dengan karakter dunia maya dan media sosial--akibat padatnya kustomer.
Sudah saling sadar berbagi dan respek, disuguhi pula salah satu kopi terbaik di Kota Bandung dan mungkin Jawa Barat. Lengkap sudah skenarionya, karena derasan kafein melumer di mulut dan berlanjut dengan sebaran zat seretonin yang bikin santai kayak di pantai bagi siapa pun yang merecapnya.
Ngopi bareng dengan banyak pengunjung yang baru bertemu sudahlah pasti menyajikan pula nuansa kesadaran bahwa kita hidup harus mau berdampingan.
Tiada mungkin hidup soliter dengan menafikan berbagai keragaman, sehingga dengan sendirinya kita menekan ego, stres, dan depresi internal.
Sahih betul publikasi laman Kompas.com beberapa waktu silam (baca Rutin Minum Kopi Bantu Redakan Stres hingga Depresi).