Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aji Chen Bromokusumo
Budayawan

Anggota DPRD Kota Tangerang Selatan Fraksi PSI dan Anggota Komisi IV DPRD Kota Tangerang Selatan

Perlawanan Koruptor dan Oligarki Berbungkus Agama dan Sentimen Etnis

Kompas.com - 15/05/2017, 08:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAna Shofiana Syatiri

Sub-judul berita utama Kompas hari Minggu 14 Mei 2017 (tepat 19 tahun Tragedi Mei 1998) menohok nalar. "Wapres: Masjid Penebar Toleransi dan Persatuan"; tak ada yang salah dengan sub-judul itu. Sebenar-benarnya saya percaya bahwa kesakralan dan kesucian rumah ibadah agama apapun adalah untuk kebaikan, di mana 'toleransi' dan 'persatuan' adalah bentuk-bentuk kebaikan dalam ajaran agama manapun.

Namun ada yang mengusik hati saya. Apakah Jusuf Kalla sedang melakukan self-denial atau bagaimana. Masyarakat luas, bahkan dunia dengan jelas melihat bagaimana masjid digunakan dan dimanfaatkan habis-habisan untuk kepentingan politik semenjak 2012, pertarungan Pilgub DKI Jakarta 2012 duet JokowiAhok dengan para kandidat lain; Pilpres 2014 yang memang tidak tampak terlalu masif karena ada kepentingan Jusuf Kalla mendampingi Joko Widodo sebagai cawapres dan mencapai puncaknya dalam hiruk pikuk Pilkada DKI Jakarta 2017 ini.

Saya mencoba memisahkan sejernih mungkin urusan hiruk pikuk politik semenjak 2012 sampai sekarang ini dan saya yakin akan menghebat di Pilpres 2019 dengan level yang mungkin terdahsyat dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia. Terlebih lagi saya tidak mengritik agama apapun karena saya meyakini ajaran agama apapun adalah kebaikan; namun seringkali agama digunakan, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan politik.

Di seluruh penjuru dunia terbukti agama merupakan bungkus paling manjur dan mujarab untuk mengobarkan fanatisme membabibuta. Timur Tengah, Irlandia, Afrika, bahkan di Amerika – agama (dan biasanya bersinergi dengan etnis) masih merupakan senjata paling ampuh.

Kita sedikit tengok ke belakang perjalanan bangsa Indonesia. Reformasi 1998 sudah terentang selama 19 tahun sampai hari ini. Pada tahun 2012 adalah titik balik perpolitikan Indonesia. Sebenarnya, pada tahun-tahun sebelumnya sudah mulai muncul benih-benih gebrakan-gebrakan sosok-sosok pembaharu di sana sini. Sebut saja Dahlan Iskan dan Ignatius Jonan. Sebelum 2012, beliau berdua sudah melakukan reformasi besar-besaran dalam bidang perkeretaapian Indonesia dan perlistrikan Indonesia.

Masih lekat dalam ingatan betapa barbarnya penumpang KRL Bogor-Jakarta yang menclok di atap kereta bergelantungan menjulur ke sekujur badan kereta, betapa kumuh dan semrawutnya KRL ketika itu. Dalam sekejap wajah perkeretaapian Indonesia mulai dari KRL sampai dengan kereta jarak jauh berubah total.

Sekarang naik KRL benar-benar tidak kalah dengan MRT di Singapura atau MTR di Hong Kong. Kebersihan gerbong KRL, kenyamanan benar-benar tidak kalah. Masih tentu saja sana sini kekurangan, bilamana puncak jam sibuk, waduh, sungguh untel-untelan seperti cendol. Namun itu masih wajar mengingat kereta sejenis di Jepang juga demikian, sama untel-untelannya ketika puncak jam sibuk.

Sosok-sosok pembaharu mulai bermunculan. Sebut saja Jokowi waktu itu Wali Kota Solo, Risma di Surabaya, Ahok di Belitung, Bupati Yoyok di Batang, Ridwan Kamil di Bandung dan mungkin masih banyak lagi, dan belakangan bertambah sosok yang cukup fenomenal adalah Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Melejitnya Jokowi dari Wali Kota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012 itulah titik balik perpolitikan Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com