YOGYAKARTA, KOMPAS - Dengan maksud terus menggali legacy, warisan tidak dalam arti materi, diselenggarakan Forum Mangunwijaya XII di Yogyakarta, 11 Februari lalu, dengan topik "Gerakan Sosial Romo Mangun".
Diskusi terbatas diikuti 18 peserta, lima di antaranya narasumber, yaitu Ignatius Haryanto, Y Suyatno Hadiatmadja Pr, Faruk HT, Damairia Pakpahan, dan Francis Wahono.
Diskusi sehari itu, di antaranya, menyimpulkan, lewat berbagai cara Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929-1999)-Romo Mangun-melakukan gerakan sosial (social movement) dalam konteks humanisasi, penghargaan manusia sesuai harkat dan martabatnya.
Mlarat ning ningrat (miskin tetapi bermartabat), mengutip frasa yang melekat dengan sosoknya.
Gerakan sosial Romo Mangun tidak bisa ditempatkan dalam konsep gerakan sosial sebagai tindakan kolektif (collective action) yang bertujuan meningkatkan status, kekuasaan, atau pengaruh.
Gerakan sosial Romo Mangun lebih sebagai upaya mencapai tujuan lewat tindakan yang menentang status quo, wewenang dan budaya yang sudah mapan.
Yang dibangun adalah perilaku kolektif (collective behavior), sesuatu yang justru dalam konsep gerakan sosial dibedakan, bahkan dipertentangkan.
Dalam gerakan sosial Romo Mangun, tindakan kolektif dan perilaku kolektif berkembang bersama, menyatu, dan memperkaya dengan tujuan utama kebaikan bersama (bonum commune), bukan kepentingan sendiri (self-interest).
Tidak terjebak dalam konsep-konsep gerakan sosial klasik, neoklasik, dan baru, gerakan sosial Romo Mangun disederhanakan.
Bersamaan waktu di masa aktivitasnya, sedang populer Teologi Pembebasan (Gustavo Gutierrez, 1973), metodologi berteologi yang berangkat dari realitas masyarakat, secara konseptual berbeda, tetapi dalam maksud dan praktik mirip.
Romo Mangun memakai istilah Teologi Pemerdekaan. Manusia menjadi merdeka, menjadi diri sendiri yang potensial berseberangan dengan dominasi kekuasaan rezim yang represif di masanya.
Gerakan sosial Romo Mangun adalah gerakan kemanusiaan, gerakan ide, gerakan moral, gerakan kerakyatan, dan gerakan kebudayaan, demikian Ferry A Timur, orang yang bertahun-tahun menyelisik aktivitas Romo Mangun, utamanya di laboratorium Dinamika Edukasi Dasar (DED), Mangunan, Kalasan.
Cara berpikir lateral thinking (berpikir nggiwar) Romo Mangun selalu out of the box, keluar dari arus utama dan umum, sehingga sering memberi kesan nyeleneh (aneh).
Lewat berbagai cara, masyarakat miskin, tertindas, dan terpinggirkan diajak, dimotivasi, dan dibantu memperbaiki kehidupannya dengan cara yang bermartabat.
Kalaupun ada sedikit bau politik sesuai dengan ciri khas gerakan sosial (Sidney Tarrow, 1998), Romo Mangun tidak menempatkan politik dalam arti mencari dan memperbesar kekuasaan (Niccolo Machiavelli, abad XVI).