KOMPAS.com - "Saya mempunyai keyakinan, nantinya justru akan semakin mendewasakan kita, mematangkan kita, menjadikan kita tahan uji,"
Demikian kutipan pernyataan Presiden Joko Widodo tentang berita bohong (hoax). Sebuah pernyataan yang penting dan menarik untuk dielaborasi.
Merujuk Karl Raimund Popper, realitas merupakan dunia ketiga, dunia yang berisikan pikiran manusia dan produk pikiran manusia. Karena itu, hoax yang muncul di media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram hingga aplikasi pesan Whatsapp, informasinya tergolong realitas semu.
Dalam keadaan begini, hoax harus direspons dengan pikiran dan produk pikiran manusia juga. Ia tidak boleh “dilawan” dengan emosi. Hoax harus ditanggapi dengan kepala dingin, tanpa rasa benci dan sayang.
Tegasnya, manusia yang sukses berinteraksi dengan hoax adalah manusia suprarasional. Manusia suprarasional tidak hanya berpijak pada akal sehat semata. Dia lebih jauh dari itu, mengutamakan kebenaran. Dia tidak akan menerima informasi yang masuk akal saja. Dia akan gali terus hingga menemukan kebenaran tentang informasi tersebut.
Setiap kali manusia suprarasional menerima hoax, setiap kali itu pula dia berusaha mencari kebenaran. Dari usaha itu, dia kemudian menjadi matang dan tahan uji.
Persoalannya lantas, bagaimana kalau manusia yang menghadapi hoax itu adalah manusia yang irasional atau sentimentil?
Dia akan kalah. Dia akan baper. Dia akan diombang-ambingkan oleh pikirannya sendiri. Dia tidak akan mampu mengoyakkan dusta yang menyelimuti informasi tersebut. Pada akhirnya, dia akan mengalami kecemasan informasi (information anxiety).
Mungkin penilaian ini berlebihan. Namun, yang ingin diingatkan di sini, hoax bisa menggelincirkan manusia ke dalam kecemasan bagi mereka yang malas berpikir. Manusia seperti ini, pada tingkat tertentu, bisa kehilangan eksistensi dirinya.
Pada titik ini, diktum Rene Descartes, saya berpikir maka saya ada (cogito ergo sum), menemukan salah satu bentuknya.
Maka, yang paling penting adalah pengenalan terhadap posisi diri manusia. Sebagai manusia, kita berposisi sebagai manusia rasional, manusia suprasional, manusia sentimentil, manusia yang sedang beranjak dari sentimentil ke arah rasional atau dari rasional ke arah suprasional?
Kalau seorang individu sadar betul bahwa dia adalah manusia sentimentil, lebih baik dia mengakses media massa mainstream saja.
Kalau dia sedang bergerak dari rasional ke suprasional, berlatihlah berpikir untuk mencari kebenaran.
Mungkin timbul pertanyaan, bukankah hoax bisa juga muncul di media mainstream? Bisa sih bisa. Namun, kemunculannnya tidak akan seleluasa kemunculannya di media sosial. Soalnya, ada batasan pemberitaan yang harus dipatuhi media massa mainstream.
Salah satunya adalah Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 4 KEJ berbunyi, “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”.