JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Puri Kencana Putri mengatakan, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tindakan penyiksaan dan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) semakin meningkat.
Menurut Puri, pada 2015 tercatat 98 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Jumlah tersebut mengalami peningkatan pada 2016 menjadi 108 kasus.
Dia pun mencontohkan kasus kematian terduga teroris asal Klaten, Siyono, yang hingga kini tidak jelas kelanjutannya.
"Kasus penyiksaan yang terjadi justru di kantor-kantor penegak hukum," ujar Puri saat memberikan keterangan pers di kantor Kontras, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (20/10/2016).
Dalam situasi yang lebih ekstrem, kata Puri, penyiksaan juga diam-diam diadopsi oleh aktor non-negara. Hal ini jelas terjadi dalam kasus kekerasan di sektor pembangunan seperti pada kasus Indra Pelani (Jambi), Salim Kancil (Jombang), atau bahkan perjuangan para ibu di pegunungan Kendeng melawan perusahaan semen.
"Mereka ini para petani yang berusaha mempertahankan tanah kelahirannya namun harus mati dan cedera atas nama kekuatan modal dan kekuasaan," kata Puri.
(Baca juga: Kasus Pembunuhan Salim Kancil Dinilai Belum Sentuh Aktor Intelektual)
Selain itu, praktik penyiksaan dan tindakan pro kekerasan juga dinilai Kontras didukung melalui revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam draf revisi terdapat sejumlah pasal yang menjadi sorotan. Adapun beberapa pasal yang dipermasalahkan, misalnya, terkait sanksi pencabutan kewarganegaraan bagi pihak yang terlibat tindak pidana terorisme.
Pasal 46A draf revisi menyatakan bahwa warga negara Indonesia yang melakukan pelatihan militer, pelatihan paramiliter, pelatihan lainnya, dan/atau ikut perang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme, pejabat yang berwenang mencabut paspor dan menyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu terdapat juga "pasal Guantanamo", yakni Pasal 43 A yang menyebut seorang terduga teroris diperbolehkan dibawa penyidik untuk ditahan selama maksimal enam bulan di tempat tertentu guna dimintai keterangan.
(Baca: MA Minta "Pasal Guantanamo" dalam Draf Revisi UU Terorisme Dihapus)