Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM: Upaya Penanganan Kebakaran Hutan oleh Pemerintah Masih Bersifat Sporadis

Kompas.com - 08/09/2016, 14:14 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai pemerintah perlu membenahi mekanisme penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) agar lebih terencana, sistematis, dan terpadu.

Dari kajian bersama Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) serta pemantauan terkait kebakaran hutan yang terjadi pada 2015-2016 di Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah, Komnas HAM menemukan adanya tumpang tindih kewenangan penanganan dan lemahnya otoritas serta tanggung jawab dari lembaga pemerintah.

Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan, tumpang tindih kewenangan tersebut mengakibatkan belum adanya perbaikan yang signifikan dalam menangani karhutla meski sudah berlangsung selama 18 tahun.

"Komnas HAM mencatat perkembangan positif yang diupayakan pemerintah dengan membentuk Badan Restorasi Gambut dan upaya pencegahan lain. Namun, upaya tersebut masih bersifat sporadis," ujar Sandrayati saat memberikan keterangan di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (8/9/2016).

(Baca: Kapolri Instruksikan Kasus Kebakaran Hutan Tak Boleh Dihentikan)

Sandrayati menjelaskan, dalam mengantisipasi kasus kebakaran hutan, pemerintah seharusnya melakukan harmonisasi peraturan.

Menurut hasil pemantauan, Komnas HAM menemukan adanya peraturan yang tidak sama dalam menentukan status kebencanaan. Akibatnya, upaya perlindungan terhadap masyarakat terkait pemenuhan hak atas kesehatan menjadi tidak maksimal.

"Soal penentuan status kualitas udara, misalnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Kesehatan, dan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) punya sikap yang berbeda," kata Sandrayati.

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila mengkritik mekanisme pengeluaran anggaran dalam menangani kebakaran hutan yang terlalu rumit.

(Baca: Lestarikan Hutan atau Korupsi?)

Pemerintah di daerah, kata Siti, tidak bisa memaksimalkan anggaran dengan cepat karena harus menunggu status darurat bencana yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

"Anggaran seharusnya dikeluarkan begitu ada asap. Namun, tindakan itu sangat lambat karena harus ada status bencana. Kami menilai ada kerumitan birokrasi, seharusnya ada diskresi," ujar Siti.

Selain itu, Siti juga mengungkapkan bahwa pemerintah belum memiliki mekanisme yang jelas terkait penerapan situasi wilayah yang tidak layak huni.

Pemerintah belum pernah mengeluarkan peringatan atau menentukan daerah mana saja yang bisa dihuni pasca-kebakaran hutan. Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui apakah daerah tersebut memiliki kualitas yang memadai untuk ditinggali.

"Belum ada mekanisme yang jelas terkait situasi wilayah itu tidak layak huni. Tidak ada warning dari pemerintah," ungkap Siti.

Kompas TV 7 Tim Kebakaran Hutan yang Disandera Sudah Bebas
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com