JAKARTA, KOMPAS.com – Masyarakat diharapkan lebih berhati-hati dalam melihat pemanfaatan uang daerah oleh kepala daerah. Terutama, bagi kepala daerah yang ingin menjadi calon petahana saat pemilihan kepala daerah.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) Yenny Sucipto, saat diskusi bertajuk “Transparansi Anggaran dan Keberpihakan” di Jakarta, Senin (5/9/2016).
Dari hasil penelitian Fitra antara 2009-2010 lalu, ada sejumlah sektor yang rawan diselewengkan jelang pilkada, seperti dana bantuan sosial, suntikan modal bagi badan usaha milik daerah, hingga pemanfaatan program kerja di SKPD.
“Itu berpeluang dimanfaatkan oleh elit, dalam hal ini bisa saja DPRD maupun kepala daerah yang akan maju,” ujar dia.
(Baca: Politik Uang Jadi Salah Satu Fokus KPU pada Pilkada Serentak 2017)
Di sektor bansos, misalnya, selama ini pengelolaan dana yang telah disalurkan kurang akuntabel. Celah itu yang dimanfaatkan oleh oknum kepala daerah kurang bertanggung jawab untuk mendulang keuntungan bagi diri sendiri.
Adapun untuk modus yang digunakan yaitu dengan memanipulasi jumlah tanda tangan dengan jumlah bantuan yang dicairkan.
“Disuruh tanda tangan empat kali, tapi pencairannya sekali. Tiga tahun, empat tahun menjelang pilkada itu terjadi,” kata dia.
Sementara itu, penyelewengan terhadap bantuan modal BUMD seperti adanya peningkatan bantuan secara tiba-tiba di akhir periode seorang kepala daerah tanpa adanya evaluasi kinerja terhadap BUMD tersebut.
Sebagai contoh, ia menyebut, di tahun 2012 lalu ketika Fauzi Bowo hendak mencalonkan diri kembali sebagai gubernur DKI, secara tiba-tiba ia menyuntik bantuan sebesar Rp 1,3 triliun kepada BUMD. Sedangkan, selama tiga tahun berturut-turut, bantuan yang disalurkan hanya sebesar Rp 300 miliar.
“Untuk program dan kegiatan SKPD, kalau teman-teman coba lihat di setiap SKPD oleh iklannya, kan di pojok kecil biasanya ada kata ‘lanjutkan’. Itu bagian dari apa? Sosialisasi,” ucap dia.