JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai alasan pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 untuk mengurangi kelebihan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), khususnya dalam komitmen pemberantasan korupsi, kurang tepat.
Anggota Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang menjelaskan jumlah narapidana korupsi yang menghuni Lapas hanya sebanyak 3.801 orang per Juli 2016. Jumlah narapidana korupsi tersebut hanya berkisar 1,92 persen dari total penghuni Lapas sebesar 197.670 jiwa.
"Jumlah napi korupsi tidak relevan dengan alasan mengurangi over-capacity Lapas," ujar Rasamala seusai diskusi RPP Warga Binaan untuk Siapa? di Sekretariat Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Kamis (1/9/2016).
(Baca: Staf Ahli Kumham: KPK dan Pemerintah Tak Akan Capai Titik Temu soal Remisi)
Menurut Rasamala, penghapusan syarat justice collaborator (JC) dalam pemberian remisi karena alasan berlebihnya kapasitas hanya akan mencederai komitmen pemberantasan korupsi.
Pasalnya, penghapusan syarat JC ini dilakukan kepada semua narapidana, termasuk koruptor, sehingga akan meringankan vonis pidana mereka yang merupakan kejahatan luar biasa bagi negara.
"Ini tidak efektif dilakukan. Justru akan semakin mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi," tambah Rasamala.
(Baca: Revisi PP Remisi Dianggap Jadi "Karpet Merah" Koruptor, Ini Penjelasan Menteri Yasonna)
Rasamala pun mengusulkan Ditjen PAS meminta rekomendasi JC untuk pemberian remisi terhadap narapidana penyalahguna narkotika demi mengurangi kapasitas Lapas. Pasalnya, jumlah narapidana terbesar dalam Lapas adalah pengedar dan pengguna narkotika.
Berdasarkan data Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen PAS Kemenkumham) pada Juli 2016, narapidana penyalahguna narkotika dalam lapas mencapai 20.411 dari total 197.670 orang.
"Coba minta BNN (Badan Narkotika Nasional) untuk memberikan rekomendasi JC ke napi penyalahguna narkotika, itu lebih efektif," ucap Rasamala.