JAKARTA, KOMPAS.com — Pelaksanaan eksekusi mati tahap ketiga pada Jumat (29/7/2016) memberi kesan mendadak dan serba tertutup. Bahkan, hingga Kamis (28/7/2016) petang, pihak keluarga dan pengacara tidak diinfokan resmi bahwa malamnya eksekusi mati akan dilakukan.
Bahkan, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sebelumnya menegaskan bahwa sebanyak 14 orang akan dieksekusi mati pekan ini. Nyatanya, hanya empat orang yang menghadapi regu tembak di LP Nusakambangan.
Mereka adalah Freddy Budiman (Indonesia), Seck Osmane (Nigeria), Michael Titus Igweh (Nigeria), dan Humphrey Ejike (Nigeria).
(Baca: Untuk Sementara, Terpidana yang Dieksekusi Mati Hanya 4 Orang)
Menurut pengakuan pengacara warga negara Pakistan Zulfiqar Ali, Saut Rajagukguk, mereka sama sekali tidak diberi tahu soal waktu eksekusi dan kepastian apakah kliennya benar akan dieksekusi. Meski sudah meminta konfirmasi ke beberapa pihak, ia masih belum mendapat jawaban.
(Baca: "Pertualangan" Sang Gembong Narkoba Freddy Budiman Berakhir di Hadapan Regu Tembak)
Senada dengan Saut, pengacara terpidana mati Humphrey Ejike, Ricky Gunawan, pun mempertanyakan pihak lapas dan kejaksaan yang tidak transparan. Ricky mengaku hanya disuruh bersiap-siap oleh petugas di lapangan untuk bersiaga hingga malam hari.
Bahkan, hingga malam eksekusi pun Kejaksaan Agung belum memberi keterangan resmi mengenai 14 nama yang masuk ke dalam daftar. Menurut Ricky, hal ini berbeda dengan eksekusi mati sebelumnya.
(Baca: Sekjen PBB Desak Indonesia Tunda Eksekusi Para Terpidana Mati)
Saat menjadi pengacara terpidana mati tahun lalu, ia telah diberi tahu sejak beberapa hari sebelumnya mengenai pelaksanaan eksekusi.
"Briefing eksekusinya itu dari malam sebelumnya. Ini tidak ada sampai sekarang briefing resminya," kata Ricky.
Berbeda dengan eksekusi mati tahap ketiga, pelaksanaan eksekusi mati yang pertama dan kedua terkesan menarik perhatian lebih besar. Bahkan, eksekusi itu menjadi sorotan utama media asing.
Hal ini disebabkan sejak beberapa hari sebelumnya, Kejaksaan Agung secara resmi mengumumkan tanggal pelaksanaan meski nama-namanya juga tidak diumumkan secara resmi.
(Baca: WNI di Sydney Diancam Serangan Asam untuk Balas Eksekusi Duo "Bali Nine")
Kemudian, setelah Indonesia melakukan eksekusi mati tahap pertama pada 18 Januari 2015, Perdana Menteri Australia Tony Abbot meminta pemerintah RI untuk membatalkan rencana eksekusi mati terhadap dua warga negara Australia yang menjadi terpidana kasus narkotika.
Dua warga negara Australia tersebut adalah Myuran Sukamaran dan Andrew Chan yang dikenal sebagai anggota Bali Nine. Setelah keduanya dieksekusi, Indonesia makin digoyang.
Pemerintah Australia langsung bereaksi atas eksekusi mati Andrew dan Myuran. Abbott pun memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Gibson sebagai bentuk protes.