JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Imparsial Al Araf menilai jika pemerintah tetap melakukan eksekusi mati akan menaikkan tensi kemarahan dunia internasional.
Hak itu diantaranya terkait terpidana mati asal Pakistan, Zulfiqar Ali. Zulfiqar divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada tahun 2005 atas kasus kepemilikan 300 gram heroin.
"Presiden harus hati-hati. Kalau sampai pemeritah memaksakan eksekusi Zulfiqar Ali, maka saya pastikan tensi internasional naik, pemerintah dan akan tercoreng, khususnya kredibilitas Presiden di mata internasional. Mengapa orang yang tidak bersalah dihukum mati," kata Al Araf dalam diskusi di Jakarta, Kamis (28/7/2016).
Selain itu, Al Araf menilai hubungan diplomasi antara Indonesia dan Pakistan akan mengalami ketegangan yang serius.
Menurut Al Araf, Zulfiqar mengalami proses hukum yang cacat dalam penetapan vonis hukuman mati. Proses hukum Zulfiqar dinilai Al Araf penuh dengan rekayasa dan penyiksaan.
Al Araf mengatakan, Kepala Balitbang HAM Kementerian Hukum dan HAM pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Hafid Abbas, pernah melakukan investigasi dan menyatakan Zulfiqar tidak bersalah dan tidak layak dihukum mati.
"Pengakuan tersangka utama Gurdip Singh di depan pengadilan bahwa Zulfiqar tidak bersalah dalam peredaran narkoba yang dia lakukan," ucap Al Araf.
Sebelum diisolasi di Nusakambangan, Zulfiqar menjalani perawatan di RSUD Cilacap karena komplikasi jantung dan ginjal.
(Baca: Terpidana Mati Zulfiqar Ali Dipindahkan dari RSUD Cilacap ke Nusakambangan)
Selain Zulfiqar, Al Araf mengatakan Merry Utami tidak layak dijatuhi hukuman mati. Berdasarkan lembar fakta Komnas Perempuan, Merry terindikasi korban perdagangan orang.
Merry ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta karena membawa 1,1 kilogram heroin. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman mati kepadanya tahun 2003.